DEMOKRASI.CO.ID - Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi ganjalan terbesar bagi kebebasan berpendapat warga Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pasal karet yang termuat dalam Undang-undang itu menjadi 'hantu' bagi warga untuk menyampaikan pendapat, yang seyogianya dijamin hukum nasional maupun internasional.
Kehadiran pendengung atau buzzer pun disebut sejumlah pihak menjadi tantangan selain UU ITE bagi warga berpendapat di ruang maya. Esensi demokrasi menjadi terganggu.
Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi mencatat sejak UU ITE diundangkan pada 2008 sampai 31 Oktober 2018, terdapat sekitar 381 korban UU ITE. Sekitar 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik dan sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian.
Sementara untuk tahun 2020, ada 84 kasus pemidanaan warganet di mana 64 di antaranya terkena jerat UU ITE. Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Ika Ningtyas, menuturkan dalam praktiknya banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat dan pemodal.
"Trennya seperti itu, tapi di 2020 ini ada kecenderungan dari aparat sendiri yang juga tinggi," kata Ika saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (17/2).
Dalam database SAFEnet, kasus tertinggi terjadi pada tahun 2016 bersamaan dengan UU ITE direvisi. Totalnya ada 83 kasus. Sedangkan untuk tahun 2017 ada 53 kasus, 2018 dengan 25 kasus dan 2019 dengan 24 kasus.
Ika berujar terdapat pola pemidanaan dari laporan dengan mencantumkan aturan di UU ITE, yakni balas dendam, membungkam kritik, shock therapy, dan persekusi kelompok. Ia menilai aturan ini sebagai upaya untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik.
"Oh iya jelas [memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik] karena terutama pemakaian Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 digunakan untuk mereka yang mengkritik dan menyalurkan aspirasi secara sah. Kasus terbaru Mas Marco [eks Ketua Bidang Pengelolaan Pesisir TGUPP DKI Jakarta]," tuturnya.
Sepanjang perjalanannya, lanjut Ika, laporan terhadap defamasi atau pencemaran nama baik menempati posisi teratas dalam implementasi UU ITE. Kemudian disusul ujaran kebencian, melanggar kesusilaan, dan berita bohong.
"Kecenderungannya masih defamasi dan ujaran kebencian Pasal 28 ayat 2," imbuhnya.
Lebih lanjut, Ika mengatakan kehadiran buzzer dengan UU ITE saling berkaitan baik secara langsung maupun tidak perihal kebebasan berpendapat. Kata dia, "tantangan dalam berekspresi di internet semakin banyak. Selain UU ITE, ada buzzer. Buzzer bisa bekerja secara lebih serius untuk melakukan serangan digital bahkan melaporkan dengan UU ITE."
Berdasarkan kondisi saat ini, ia menganggap buzzer senantiasa memberikan 'serangan balik' terhadap kritik yang disampaikan warga maupun kelompok warga terhadap kebijakan pemerintah.
"Di sisi lain dia akan menjadi counter terhadap isu-isu yang dikritik oleh kelompok masyarakat sipil. Misal saat itu muncul tagar #sawitbaik," pungkasnya.
Merujuk data Indonesia Corruption Watch (ICW), pemerintah menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer baik individu atau kelompok dengan tujuan mempengaruhi opini publik terkait kebijakan.
Salah satu yang sempat menjadi berpolemik yakni kabar bahwa pemerintah menggandeng influencer dan artis untuk mempromosikan Undang-undang Cipta Kerja. Namun, hal itu sudah dibantah pemerintah.
Sementara untuk UU ITE, Presiden Joko Widodo sudah meminta kepada Kapolri untuk meningkatkan pengawasan agar implementasi terhadap penegakan Undang-undang tersebut dapat berjalan secara konsisten, akuntabel dan berkeadilan.
Jika aturan tersebut belum memberikan rasa keadilan, Jokowi menyatakan akan meminta DPR untuk merevisi UU ITE, terutama untuk pasal-pasal yang bisa diinterpretasikan sepihak.
Niat baik Jokowi menimbulkan pertanyaan baru. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, meminta Jokowi membebaskan seluruh korban kriminalisasi UU ITE sebagai langkah awal komitmen memberikan rasa keadilan.
Berdasarkan catatan AII, sepanjang tahun 2020 terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE, dengan total 141 tersangka termasuk di antaranya 18 aktivis dan jurnalis.
Sementara koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, KontraS, ICJR, SAFEnet dan lainnya memberikan sejumlah catatan bagi Jokowi terkait keseriusan merevisi UU ITE.
Koalisi meminta seluruh pasal yang multitafsir untuk dihapus. Beberapa di antaranya seperti Pasal 27 ayat 1 yang memuat unsur 'melanggar kesusilaan', Pasal 27 ayat 3 yang kerap membungkam kebebasan berekspresi dan Pasal 28 ayat 2 terkait ujaran kebencian.
"Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan penghukuman mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen (676 perkara)," ujar koalisi dalam rilisnya.
Sementara catatan kedua adalah konsep fair trial perihal ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam revisi UU ITE nantinya harus kembali diberlakukan.
"Dalam UU ITE yang sekarang berlaku, upaya paksa justru menjadi diskresi aparat penegak hukum dan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan," lanjutnya.
Catatan berikutnya yakni kewenangan mengenai pengaturan blocking dan filtering konten harus diatur secara tegas mekanismenya sesuai dengan due process of law.
"Terlalu besarnya kewenangan pemerintah eksekutif melakukan blocking dan filtering konten internet perlu ditinjau ulang dengan memasukkan mekanisme kontrol sebelum dan setelah melaksanakan pemutusan," ucap koalisi. (*)