DEMOKRASI.CO.ID - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia, Prof Salim Haji Said mengaku tetap takut mengkritik meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan minta dikritik masyarakat.
Ketakutan itu muncul karena orang-orang di sekitar kekuasaan bisa mempersulit mereka yang kritis kepada pemerintah karena kepentingannya terganggu.
“Saya nanti mengkritik Pak Jokowi, karena beliau minta kita (masyarakat) mengkritik dia. Namun, ada orang lain dari kalangan oligarki itu yang merasa dirugikan atau lebih dirugikan maka dia bisa bertindak mempersulit kita,” katanya di kanal YouTube Hersubeno Arief Point.
Salim Said menambahkan, Presiden Jokowi rupanya telah menyadari itu. Oleh karena itu ia mengeluarkan seruan supaya dikritik. Persoalannya, apakah orang yang punya niat mengkritik itu berani?
“Saya tidak 100 persen berani, sebab saya takut ada orang lain yang tersinggung, kepentingannya terganggu dengan kritik saya ke pemerintah.”
“Ini yang harus diatasi Pak Jokowi. Kalau beliau tidak mengatasi, tidak akan pernah ada orang jujur yang berani mengkritik karena takut ditangkap,” sambungnya.
Mantan Dubes Indonesia untuk Republik Ceko ini menyatakan, orang-orang yang kini dijebloskan dalam penjara karena kritis kepada pemerintah sebenarnya tujuan mereka itu baik. Kritik disampaikan agar pemerintah berjalan dengan lurus.
Namun ada orang yang merasa dirugikan. Itulah konsekuensi kalau sistem yang dijalankan, disengaja atau tidak, adalah oligarki.
“Artinya, tidak tahu siapa sebenarnya yang berkuasa ini. Kalau Pak Jokowi ternyata tidak berkuasa 100 persen sebagai presiden, dan saya curiga itu yang terjadi maka orang takut mengkritik. Nanti ditangkap,” ucapnya.
Salim Said lantas mencontohkan dirinya adalah aktivis sejak 1960-an. Dia biasa mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah.
Begitu pun di zamannya Soeharto atau Orde Baru. Semuanya aman-aman saja, artinya tidak ditangkap.
“Selama Orba saya aman-aman saja, yang berkuasa itu Pak Harto. Jadi kalau kepentingan Pak Harto tidak kita (Salim Said) singgung-singgung maka kita relatif aman, itu sebabnya banyak tulisan saya di zaman orde baru sebagian sudah diterbitkan dalam bentuk buku.”
“Orang tanya berani amat? Saya bilang saya tidak mengkritik orang berkuasa, kadang-kadang menyindir sedikit dan orang yang berkuasa itu tidak melihat saya sebagai ancaman,” bebernya.
Kondisi itu berbeda di masa Jokowi saat ini. Karena tidak punya partai, Jokowi tergantung pada sejumlah orang yang beramai-ramai mendukungnya dan karena itu mereka berharap keuntungan.
Nah kalau orang-orang ini merasa terganggu, merasa keuntungannya terganggu bisa mempersoalkan orang-orang yang kritis dan mengadukannya ke polisi atau menyerang dengan buzzer.
Hal ini membuat orang merasa tidak aman, seperti yang dialami Kwik Kian Gie, padahal maksudnya baik.
“Yang merepotkan itu orang lain yang kepentingannya merasa terganggu, mereka yang menyusahkan kita (masyarakat), bukan Pak Jokowi,” imbuhnya.
Hal itu menurutnya yang harus disadari Jokowi, kalau tidak ada banyak kritik masuk. Kondisi ini juga harus disadari oleh calon-calon presiden kelak yang akan menggantikannya.
Kalau tidak kuat, presiden akan dimain-mainkan oleh oligarki. Masa jabatan Jokowi, kata Salim Said, akan berakhir 2024. Orang yang mau menjadi presiden harus menyadari itu kalau dia tidak cukup kuat.
“Kenapa Pak Harto tidak takut dengan orang-orang di lingkaran pemerintah? Karena dia cukup kuat. Pak Harto itu partainya terkuat bukan hanya di Indonesia tetapi di Asia Tenggara. Siapa partainya? ABRI, bukan Golkar,” tegasnya.
Salim Said kemudian mengingatkan kembali bahwa Presiden Jokowi itu orang baik tetapi baik saja tidak cukup untuk mengurus negeri seperti Indonesia yang sangat complicated.
“Jadi terima saja undangan mengkritik itu sebagai tanda bukti Pak Jokowi itu orang baik. Hanya saya tegaskan kalau orang baik saja tidak cukup, tukang becak pun bisa jadi presiden tanpa dukungan. Itu persoalan yang dihadapi Pak Jokowi,” pungkasnya. []