DEMOKRASI.CO.ID - Ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri, memberikan analisanya terkait rentetan kasus dugaan ujaran rasisme yang akhir-akhir ramai menjadi pembahasan hangat di tengah masyarakat.
Beberapa nama terjerat kasus ini mulai dari Ambroncius Nababan hingga terbaru Permadi Arya alias Abu Janda. Mereka dilaporkan ke polisi akibat tulisannya yang dianggap menyampaikan ujaran kebencian di media sosial.
Kasus yang menjerat Ambroncius bermula dari postingan akun Facebook berinisial AN yang dilaporkan ke Polda Papua Barat oleh Ketua KNPI Papua Barat Sius Dowansiba atas dugaan penghinaan.
Dalam postingannya, AN mengirim gambar Pigai yang disandingkan dengan gorila disertai komentar tentang vaksinasi. Belakangan disebut hal itu merupakan respons Ambroncius atas kritik Pigai terkait vaksin Sinovac.
Laporan tersebut diterima SPKT Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat. Dalam laporan tersebut, tercatat yang terlapor bernama Ambroncius Nababan. Ambroncius sendiri kini sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan setelah kasusnya ditarik oleh Bareskrim Polri.
Sedangkan Abu Janda dilaporkan oleh KNPI ke Bareskrim Polri. Laporan itu sudah telah diterima dengan nomor STTL/30/I/2021/Bareskrim tertanggal 28 Januari 2021.
Abu Janda dilaporkan terkait cuitan 'Islam arogan' di akun Twitternya. Cuitan itu dibuat pada 24 Januari 2021.
Abu Janda diduga melanggar Pasal 45 ayat 3 Junto Pasal 27 ayat 3 dan atau Pasal 45 ayat 2 Junto Pasal 28 ayat 2 Undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang ITE, dan Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP tentang diskriminasi etnis.
Reza mengatakan, kebencian adalah urusan perasaan. Sedangkan rasisme berangkat dari bias implisit (implicit bias).
"Perasaan dan bias itu ada pada dimensi pribadi individu (si pembenci dan di rasis) dan muncul secara alamiah," kata Reza yang juga menjadi pengajar di sejumlah perguruan tinggi ini dalam keterangannya, Selasa (2/2).
Khusus dalam kasus Abu Janda, sebagian masyarakat mengecap dia sebagai seorang buzzer pemerintah. Dalam analisanya, Reza memang tidak secara gamblang menyebut Abu Janda. Namun tetap ada konsekuensi dalam kasus ini.
"Tapi andai benar anggapan bahwa pendengung adalah orang bayaran sehingga dijuluki sebagai buzzeRp, maka ketika mereka melakukan perbuatan, pidana implikasinya," ucap Reza.
Setidaknya, Reza memaparkan ada empat implikasi dalam kasus ini. Pertama ekspresi kebencian dan rasisme tidak bisa lagi dipandang sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah pada diri si buzzer.
"Postingannya bukan sungguh-sungguh ekspresi suasana hati. Bukan didorong oleh motif emosional, melainkan motif instrumental," papar Reza yang kerap diminta bantuan penegak hukum menganalisis kasus kriminal in.
Kedua, Reza menduga aksi buzzer yang melakukan pidana di medsos mirip dengan kejahatan terorganisir. Sebab para buzzer sebatas eksekutor lapangan.
"Di belakangnya ada otak dan penyandang biaya," ucap Reza.
Ketiga, jika benar ini masuk dalam kejahatan terorganisir, maka kerja aparat penegak hukum tidak cukup hanya melakukan pemidanaan terhadap buzzer saja. Aparat juga harus memproses hukum siapa otak dan penyandang dana tersebut.
Terakhir, Reza berpendapat buzzer juga harus diberikan hukuman tambahan selain hukuman pidana jika terbukti bersalah. Yakni dengan cara membatasi ruang gerak mereka di media sosial.
"Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak, ruang hidup virtual si buzzeRp harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya," tutup dia. []