Oleh: Henrykus Sihaloho
PEPATAH Batak Toba “itambai teni manuk teni horbo” (si gurem membantu sang raksasa) mungkin bisa menggambarkan bagaimana (pejabat) Negara memperlakukan pengusaha tani kecil dan yang bukan (utamanya pegusaha besar dan konglomerat).
Mengingat jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan lebih dari 27,2 juta (BPS 2018), masuk akal kontribusinya pun besar. Artinya, bila pabrikan mobil mendapat insentif, apalagi petani.
Bila kita hitung dengan cermat, kontribusi petani kecil padi dari selisih harga yang ideal yang seharusnya mereka peroleh (semisal setara dengan petani padi di Jepang) dengan harga real yang mereka raih, niscaya mengalahkan kontribusi konglomerat dari pajak yang mereka berikan kepada negara.
Di Jepang, menurut Sri Nuryanti (Atase Pertanian di Kedubes RI untuk Jepang), perusahaan jasa keuangan milik pemerintah Jepang telah memberikan insentif kepada petani, rimbawan, dan nelayan yang terkena dampak Covid-19 dengan melonggarkan pembayaran pinjaman.
Tidak hanya petani, masyarakat yang terdampak Covid-19 berhak atas pinjaman tanpa agunan dan bunga selama lima tahun pertama serta batas nilai pinjaman hingga dua kali lipat, menjadi 12 juta yen.
Perhatian itu tidak hanya terjadi di masa pandemi Covid-19.
Pengamat pertanian dari UPN Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, dalam Tabloidsinartani.com (14 Mei 2019) menyebutkan, pasca-Perang Dunia (PD) II, pemerintah Jepang bukan sekadar membuat petani memiliki pendapatan yang lebih besar, tetapi juga menjamin kemakmuran mereka.
Hidayat menambahkan, kebijakan yang berlandaskan ekonomi rakyat itu tertuang dalam regulasi harga, subsidi faktor produksi, perlindungan atas produk lokal, dan penyediaan atau pembagian lahan yang mengacu pada skala ekonomi.
Menurutnya, urat nadi ekonomi petani adalah Koperasi Pertanian Jepang yang mengumpulkan, mengangkut, mendistribusikan, menjual produk pertanian, dan menyediakan sarana produksi. Tidak hanya itu, koperasi yang sudah memiliki jaringan yang luas di tingkat lokal dan internasional itu juga berperan sebagai bank, asuransi, layanan kesehatan, dan pengatur pengolahan produk.
Perilaku Pancasilais dari Pejabat di Negara Kapitalis
Bila kita ringkas, pengantar tulisan di atas sesungguhnya mencoba memotret perilaku pejabat Jepang merestorasi rakyat yang direpresentasikan oleh petani. Di Jepang restorasi atau revolusi Meiji bertujuan menggantikan feodalisme dengan ekonomi pasar.
Sebagaimana diketahui, dalam perjalanannya kemudian, di Jepang, utamanya pasca-PD II, ekonomi pasar tidak berlaku untuk sektor pertanian.
Jepang tidak sendiri dalam hal ini. Jerman, sesudah merasa bisa bersaing dengan Inggris, menyetujui melakukan perdagangan bebas dengan Inggris, kecuali untuk produk pertanian.
Amerika Serikat setali tiga uang: menyepakati perdagangan bebas untuk semua produk di luar pertanian. Padahal di negara Paman Sam ini sama sukarnya menemukan petani yang berlahan puluhan hektare dengan petani padi di Indonesia yang berlahan puluhan hektare.
Intinya, semua negara kaya tersebut demikian peduli pada nasib petani, termasuk petani kaya sekalipun.
Dulu, NATO itu diplesetkan dengan “No Action Talk Only”. Mungkin istilah ini dengan makna yang lebih luas cukup pas untuk menggambarkan pejabat kita. Pejabat kita sudah merasa peduli pada petani bila banyak membicarakan dunia mereka dalam rapat.
Itu sebabnya tidak heran bila baru-baru ini (25 Januari 2021) dalam rangka penguatan ketahanan pangan Menteri Pertanian merasa perlu membentuk Kelompok Kerja Ahli Ketahanan Pangan dengan menerbitkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 13/KPTS/OT.050/M/01/2021 tentang Kelompok Kerja Ahli Ketahanan Pangan.
Dalam Kepmen di atas disebutkan, salah satu tugas Kelompok Kerja adalah memberi masukan dan rekomendasi kebijakan ketahanan pangan nasional yang meliputi aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, mutu, gizi, dan keamanan pangan.
Kepmen juga menyebutkan, segala biaya yang diperlukan akibat ditetapkannya Keputusan Menteri ini dibebankan kepada Anggaran Kementerian Pertanian.
Memperhatikan butir keenam Kepmen di atas, rupanya Kepmen ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Menteri Pertanian Nomor 855/Kpts/OT.050/12/2017 tentang Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan. Bila Kepmen terdahulu berlaku selama 2 tahun, Kepmen terbaru berdurasi 2 kali lebih lama.
Mindset Pejabat Kita di Masa Pandemi Covid-19
Lantaran lahirnya Kepmen di atas sebagai kelanjutan dari Kepmen sebelumnya, Penulis tidak hendak mengatakan: tidak ada bedanya mindset pejabat kita sebelum dan selama Covid-19, khususnya dalam menciptakan kedaulatan pangan.
Hemat Penulis, Presiden sudah berada pada arah yang benar dalam mewujudkan visinya dengan melakukan pencetakan sawah. Penulis bukan tanpa alasan menyebutkan Presiden sudah on the right track.
Mari kita baca penelitian Mulyani et al (2016) yang dilakukan dari 2013-2015 di sembilan provinsi sentra produksi padi.
Penelitian tersebut memperkirakan konversi lahan sawah 96.512 ha/tahun. Menurut Mulyani dan kawan-kawan, laju konversi sebesar itu sungguh mengkhawatirkan dan mengancam ketahanan pangan.
Hasil Survei Pertanian Antarsensus BPS (yang dirilis 30 Oktober 2018) menguatkan temuan penelitian Mulyani et al. BPS mencatat, konversi lahan (0,13 juta ha/tahun) justru lebih buruk dari perkiraan semula yang 0,1 juta ha/tahun.
Minimal ada 3 hal penting dari temuan BPS di atas. Pertama, terjadi penurunan luas baku lahan sawah di Indonesia dari 7,75 juta ha pada 2013 menjadi 7,1 juta ha pada 2018.
Kedua, jumlah rumah tangga usaha pertanian (RTUP) 2018 27,68 juta atau naik 5,89% dibandingkan hasil Sensus Pertanian 2013 yang mencatat 26,14 juta RTUP.
Ketiga, dari 27,22 juta RTUP (98,34%) pengguna lahan, ada 15,81 juta RTUP (58,08%) merupakan petani gurem (menguasai lahan kurang dari 0,5 ha); jumlah petani gurem ini meningkat 10,95% dibanding 2013 yang sebanyak 14,25 juta dari 25,75 juta RUTP.
Sebagai catatan, semula pada 2019 Kementan menyebut luas baku lahan sawah 8,1 juta ha, sedangkan versi Kementerian ATR/Kepala BPN sama dengan BPS, yakni 7,1 juta ha. Padahal bila Kementan tetap bersikeras dengan kebenaran versinya, secara tidak sadar Kementan sedang mempermalukan dirinya.
Bila data Kementan dipakai, berarti Kementan mengakui produktivitas menurun. Jika demikian, masuk akal Kementan membentuk Kelompok Kerja di atas, bukan Kelompok Kerja Pengamanan Konversi Lahan Sawah sesuai anjuran Mulyani et al.
Selain menganjurkan hal di atas, Mulyani et al juga merekomendasikan pencetakan sawah baru secara signifikan untuk mewujudkan ketahanan pangan yang pada gilirannya mewujudkan kedaulatan pangan. Sedari awal (sejak 2014) Presiden Joko Widodo telah memimpikan itu.
Hemat Penulis, meski agak spekulatif, pembentukan Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan pada akhir 2017 oleh Menteri Pertanian (2014-2019) Amran Sulaiman mungkin membuatnya tidak lagi menjabat di periode kedua Presiden Jokowi.
Bukan tidak mungkin, pemberian kepercayaan kepada Kemenhan untuk ikut menangani “pertanian” merupakan peringatan dini bagi Mentan sekarang untuk kembali menjalankan visi Presiden.
Menteri Syahrul Yasin Limpo perlu mengingat ini: kemakmuran tidak hanya menurunkan tingkat kematian, tetapi juga pertumbuhan penduduk.
Di sektor pertanian pun demikian: kemakmuran petani tidak hanya mengamankan konversi lahan, tetapi juga meningkatkan produktivitas lantaran dikelola oleh SDM petani yang bermutu.
Sebagai penutup, tidak salah bila Penulis mendambakan perubahan mindset pejabat Kementan: bukan lagi memakmurkan orang yang makmur, tetapi memakmurkan petani yang dengan sendirinya akan melahirkan petani-petani baru yang bermutu.
Di situlah pencetakan sawah menjadi lebih bermakna karena ditangani oleh orang yang kerja, kerja, kerja, bukan yang bicara, bicara, bicara. Penulis yakin, di Kementan orang yang doyan kerja itu berjibun.
Ingat, jangan memaknai Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah dari kemampuannya memperbesar serapan anggaran semata.
Kinerja yang bermakna itu tercermin dari ketiadaan konversi lahan dan pencetakan sawah yang berujung pada kemakmuran petani dan lahirnya petani yang andal.
(Dosen Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Katolik Santo Thomas)