DEMOKRASI.CO.ID - Seorang ahli dokumentasi genosida, pengamat, sekaligus aktivis hak asasi manusia, Maung Zarni, mengatakan bahwa kudeta militer yang terjadi pada Senin (1/2) sebagai tanda berakhirnya karier politik Aung San Suu Kyi.
"Saya pikir ini mungkin akhir dari karir politik Aung San Suu Kyi," kata Zarni, yang saat ini berbasis di London, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (2/2).
Menurutnya, sejak militer menyadari bahwa selama Suu Kyi memimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), mereka tidak dapat mengharapkan publik Burma untuk memilih wakil militer.
Militer Myanmar, yang secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw akhirnya mengambil alih kekuasaan, dan mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun. Mereka juga telah menahan Presiden Myanmar Win Myint, Suu Kyi, dan anggota lain dari partai yang berkuasa.
Suu Kyi menjabat sebagai pemimpin de facto Myanmar dari 2016 hingga 2021, setelah perjuangan panjang untuk demokrasi di negara Asia Selatan yang membuatnya mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 1991. Namun, dia sendiri tetap diam atas pembantaian Rohingya. Pembelaannya terhadap genosida militer di pengadilan internasional menuai kritik keras di seluruh dunia.
Dalam dua pemilu terakhir - pada 2015 dan 2020 - militer menyadari bahwa mereka tidak dapat memainkan permainan pemilu ini dengan Suu Kyi, yang menikmati dukungan politik luar biasa dari publik.
Zarni, yang selama ini dikenal menentang kekerasan di Negara Bagian Rakhine dan krisis pengungsi Rohingya, menyebut perebutan kekuasaan militer sebagai 'kudeta buku Orwellian'. Orwellian adalah suatu kondisi di mana kebebasan berpikir hilang atau rusak.
Suatu masyarakat dapat dikatakan 'Orwellian' jika pada masyarakat itu terdapat sikap dan pengontrolan pemikiran secara draconian atau masif melalui propaganda, pengawasan, misinformasi, doublethink, doublespeak, serta manipulasi sejarah.
“Karena para pembuat kudeta, para jenderal Burma membingkai kudeta sebagai tindakan untuk melindungi dan mempertahankan keutuhan proses demokrasi,” jelasnya.
Konsekuensi langsung dari kudeta tersebut dapat berupa pembubaran partai NLD yang berkuasa dan penghancuran posisi dewan negara Suu Kyi, terang Zarni.
Dia berargumen bahwa militer menjadikan kudeta ini sebagai kudeta konstitusional dalam mempertahankan transisi demokrasi.
“Konstitusi adalah angsa emas mereka. Itu memberi mereka telur setiap hari dalam kehidupan politik mereka," kata Zarni.
Militer tidak akan menghapus Konstitusi. Mereka akan menggunakan Konstitusi untuk menghapus apa pun yang mereka anggap sebagai penghalang bagi kontrol total mereka atas politik dan ekonomi," ujarnya.
Dia juga mengatakan militer mungkin akan menghapus parlemen. Tidak ada harapan akan adanya reaksi publik atau perlawanan di dalam militer terhadap kudeta ini.
"Saya tidak percaya bahwa orang Burma akan mempertaruhkan nyawa mereka untuk disiplin militer yang mengembangkan demokrasi," ungkap Zarni seraya menambahkan keraguannya tentang apa yang disebut proses demokrasi di Myanmar.
"Bagaimana bisa disebut reformasi demokrasi, ketika mereka melakukan genosida penuh terhadap minoritas Rohingya?" tanyanya.
Dalam kasus tindakan tidak demokratis di Myanmar, Zarni menggarisbawahi bahwa tidak ada aktor regional yang akan memainkan peran penting dalam membangun demokrasi di sana.
"Karena mayoritas pemerintah di Asia Tenggara, 8 dari 10, kecuali Indonesia atau Malaysia, adalah 'rezim otoriter',” lanjutnya. "Lalu mengapa mereka peduli dengan rezim otoriter lain di sebelah."
Zarni menyoroti bagaimana komunitas internasional gagal mengambil tindakan untuk mengakhiri genosida terhadap Rohingya di Burma.
Genosida terhadap Rohingya telah menjadi strategi militer sejak akhir 1970-an, menurut Zarni.
“Militer telah mencapai tujuan genosidalnya. Dua atau tiga juta Rohingya tersebar di seluruh dunia."[rmol]