DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat Keamanan Siber Teguh Aprianto menyebut Virtual Police atau Polisi Virtual yang diluncurkan Bareskrim Polri membuat masyarakat takut untuk mengeluarkan pendapat di media sosial.
"Ini malah sebenarnya yang mereka (Polri) lakukan ini cenderung bikin masyarakat lebih takut untuk mengeluarkan pendapat," ujar Teguh kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/2).
Lebih lanjut ia menilai, cara pihak Kepolisian yang memberikan teguran kepada pengguna media sosial melalui Direct Message (DM) telah dinilai tidak tepat, karena bukan tugas pihak Kepolisian.
"Polisi mengambil peran untuk memberi peringatan itu enggak tepat. itu bukan tugas Polisi." ujarnya.
Teguh mengatakan, untuk menyimpulkan suatu postingan mengandung unsur hoax maupun ujaran kebencian, perlu melewati proses hukum yang sesuai dengan konstitusional. Lalu kemudian di tindak oleh Kepolisian untuk diproses secara hukum.
Ia menilai, cara kepolisian dalam menentukan sebuah postingan hanya berdasarkan pandangan kepolisian saja. Menurutnya, klaim hoax sebuah postingan hanya bisa ditentukan oleh Hakim. Bukan dari pihak kepolisian.
"Mereka kaya bisa menentukan salah atau benar postingan itu. Sementara kan untuk melewati itu harus melewati proses pengadilan. Enggak bisa mereka menentukan ini salah dan ini benar. ini tugasnya hakim," pungkasnya.
Di samping itu, ia menyinggung pihak Kepolisian yang kerap tidak bisa membedakan informasi yang tergolong hoax atau opini. Hal itu menurutnya menjadi hal harus digarisbawahi.
Lebih lanjut ia menjelaskan, cara ini tidak banyak dilakukan oleh kepolisian di luar negeri. Karena menurutnya masalah siber lebih banyak dan lebih besar daripada mengurus masyarakat bermedia sosial.
Sebelumnya Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri meluncurkan Polisi Virtual untuk mencegah tindak pidana terkait Undang-Undang Tindak Pidana Siber di Indonesia.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigadir Jenderal Slamet Uliandi mengatakan tim tersebut telah resmi beroperasi sejak kemarin.
"Per 24 Februari 2021 sudah dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Artinya kita sudah mulai jalan," kata Slamet dalam keterangan tertulis, Kamis (25/2).
Dia menuturkan, tim tersebut pertama akan mulai beroperasi dengan melakukan patroli siber di media sosial. Mereka, mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoax serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram.
Apabila virtual police menemukan konten yang terindikasi melakukan pelanggaran itu, maka tim akan mengirimkan peringatan lewat medium pesan atau direct message ke pemilik akun.
Peringatan itu, kata dia, diberikan usai tim melakukan kajian terhadap konten bersama dengan sejumlah ahli. Kata dia, polisi akan melibatkan ahli bahasa, ahli pidana, hingga ahli ITE. Hal tersebut dilakukan guna menekan subjektivitas polisi dalam menilai suatu konten yang tersebar di internet untuk kemudian ditegur. []