DEMOKRASI.CO.ID - Militer Myanmar memberlakukan kondisi darurat, Senin (01/02), setelah melakukan penahanan terhadap sejumlah pemimpin politik Myanmar, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Militer Myanmar mengatakan penahanan itu dilakukan untuk merespons kecurangan pemilu, seperti dilaporkan Kantor berita Reuters.
Sebuah rekaman video yang disiarkan di televisi milik militer mengatakan kekuasaan telah diserahkan kepada panglima tertinggi militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, demikian lapor AFP.
Sebelumnya, Aung San Suu Kyi, pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang memerintah Myanmar, telah ditangkap oleh militer, kata juru bicara partai tersebut.
Militer di Myanmar mengkonfirmasi mereka telah melakukan kudeta, dan bermaksud untuk memegang kekuasaan setidaknya selama satu tahun, kata koresponden BBC Asia Tenggara, Jonathan Head.
Militer Myanmar mengatakan penahanan itu dilakukan untuk merespons kecurangan pemilu.
Apa reaksi AS dan Australia?
Merespon aksi penahanan para pemimpin politik Myanmar, Australia menuntut militer Myanmar agar segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin lainnya.
Mereka memperingatkan bahwa militer "sekali lagi berusaha untuk merebut kendali" negara itu.
"Kami menyerukan kepada militer untuk menghormati aturan hukum, untuk menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme yang sah dan untuk segera membebaskan semua pemimpin sipil dan lainnya yang telah ditahan secara tidak sah," kata Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari kantor berita AFP.
Sementara, mengutip dari kantor berita Reuters, Amerika Serikat menyatakan menolak setiap upaya untuk mengubah hasil pemilihan terbaru atau mengubah transisi demokratis Myanmar.
"AS menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilihan umum baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika tidak menghentikan apa yang mereka lakukan," kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa Presiden AS Joe Biden telah diberi pengarahan.
'Kami ingin mereka bertindak sesuai hukum'
Penangkapan itu terjadi di tengah ketegangan antara pemerintah sipil dan militer, yang memicu kekhawatiran akan adanya kudeta.
Dalam pemilu pada November tahun lalu, NLD memenangkan cukup kursi di parlemen untuk membentuk pemerintahan, namun militer menganggap pemungutan suara itu curang.
Militer telah meminta pemerintah untuk menunda sidang parlemen, yang akan berlangsung pada hari Senin (01/02).
Juru bicara NLD, Myo Nyunt mengatakan kepada kantor berita Reuters via sambungan telepon bahwa Suu Kyi, Presiden Win Myint dan para pemimpin lainnya telah "dibawa" pada Senin (01/02) dini hari.
"Saya ingin memberitahu orang-orang kami untuk tidak menanggapi dengan gegabah dan saya ingin mereka bertindak sesuai dengan hukum," ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia juga diperkirakan akan ditahan.
Militer Myanmar menyatakan terjadi kecurangan besar dalam pemilu November lalu, namun komisi pemilu membantah.
Merespon aksi penahanan para pemimpin politik Myanmar, Australia menuntut tentara Myanmar segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin lainnya, memperingatkan bahwa militer "sekali lagi berusaha untuk merebut kendali" negara itu.
"Kami menyerukan kepada militer untuk menghormati aturan hukum, untuk menyelesaikan perselisihan melalui mekanisme yang sah dan untuk segera membebaskan semua pemimpin sipil dan lainnya yang telah ditahan secara tidak sah," kata Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari kantor berita AFP.
Sementara, mengutip dari kantor berita Reuters, Amerika Serikat menyatakan menolak setiap upaya untuk mengubah hasil pemilihan terbaru atau mengubah transisi demokratis Myanmar.
"Amerika Serikat menentang segala upaya untuk mengubah hasilpemilihan umum baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika tidak menghentikan apa yang mereka lakukan, " kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki dalam sebuah pernyataan, menambahkan bahwa Presiden AS Joe Biden telah diberi pengarahan
Apa yang terjadi di Myanmar?
Saluran telepon dan koneksi internet terganggu di kota-kota besar Myanmar, sedangkan media pemerintah Myanmar, MRTV, mengalami masalah teknis dan tidak dapat melakukan penyiaran.
"Karena kesulitan komunikasi saat ini, kami dengan hormat ingin memberi tahu Anda bahwa program reguler MRTV dan Radio Myanmar tidak dapat disiarkan," kata Radio dan Televisi Myanmar dalam sebuah unggahan di halaman Facebook-nya.
Militer juga mendatangi rumah sejumlah menteri utama di beberapa daerah dan membawa mereka pergi, kata anggota keluarga.
Koresponden BBC Asia Tenggara, Jonathan Head, mengatakan ada banyak tentara di jalan-jalan ibu kota, Naypyitaw, dan kota utama, Yangon.
Polisi berjaga-jaga di dekat gedung parlemen di Naypiydaw, Jumat (29/01).
Ia menggambarkan apa yang terjadi di Myanmar terlihat seperti kudeta skala penuh, meskipun minggu lalu militer berjanji untuk mematuhi konstitusi yang dirancangnya lebih dari satu dekade lalu.
Konstitusi itu memang memberi wewenang untuk mengumumkan keadaan darurat, tetapi menahan para pemimpin politik seperti Suu Kyi adalah langkah yang provokatif dan sangat berisiko, yang mungkin akan ditentang keras, kata Jonathan Head.
Pada hari Sabtu (30/01), angkatan bersenjata Myanmar berjanji untuk mematuhi konstitusi karena kekhawatiran yang meningkat bahwa mereka bersiap untuk melakukan kudeta.
Militer Myanmar menyebut pernyataan Jendral Min Aung Hlaing tentang menghapus konstitusi telah disalahartikan.
Apa yang terjadi dalam pemilu?
NLD memenangkan 83% kursi parlemen dalam pemilu yang digelar 8 November 2020 dalam apa yang disebut sebagai referendum atas pemerintahan sipil Suu Kyi.
Itu merupakan pemilu kedua sejak berakhirnya kekuasaan militer pada 2011.
Namun militer menolak hasil pemilu tersebut, dan mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung terhadap presiden dan ketua komisi pemilihan.
Ketakutan akan kudeta meningkat setelah militer baru-baru ini mengancam akan "mengambil tindakan" atas dugaan kecurangan pemilu. Namun KPU membantah tuduhan tersebut.
Para pendukung militer melakukan protes di depan komisi pemilihan umum di Yangon, Jumat (29/01).
Siapakah Aung San Suu Kyi?
Aung San Suu Kyi adalah putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung San. Ayahnya tewas dibunuh ketika Suu kyi berusia dua tahun, tepat sebelum Myanmar memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948.
Suu Kyi pernah dianggap sebagai simbol hak asasi manusia - seorang aktivis berprinsip yang menyerahkan kebebasannya untuk menantang jenderal militer yang kejam yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade.
Pada tahun 1991, ia dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian, saat masih dalam tahanan rumah, dan dielu-elukan sebagai "contoh luar biasa dari kekuatan yang tak berdaya".
Suu Kyi menghabiskan hampir 15 tahun di tahanan antara tahun 1989 dan 2010.
Aung San Suu Kyi, terlihat di sini di klinik vaksinasi virus corona pada bulan Januari, adalah pemimpin partai terbesar di parlemen
Pada November 2015, dia memimpin partai NLD meraih kemenangan telak dalam pemilihan umum pertama Myanmar yang diperebutkan secara terbuka selama 25 tahun.
Konstitusi Myanmar melarangnya menjadi presiden karena ia memiliki anak yang merupakan warga negara asing. Tapi Suu Kyi, yang kini berusia 75 tahun, secara luas dipandang sebagai pemimpin de facto.
Namun, sejak menjadi penasihat negara Myanmar, kepemimpinannya ditentukan oleh perlakuan terhadap etnis minoritas Rohingya yang sebagian besar beragama Muslim di negara itu.
Pada 2017, ratusan ribu etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh karena tindakan represi militer yang dipicu oleh serangan mematikan di kantor polisi di negara bagian Rakhine.
Di negaranya sendiri, bagaimanapun, "Nyonya", begitu Suu Kyi dikenal, tetap sangat populer di antara mayoritas umat Buddha yang memiliki sedikit simpati untuk etnis Rohingya
Mantan pendukung Suu Kyi di kancah internasional menuduhnya menutup mata terkait pemerkosaan, pembunuhan, dan kemungkinan genosida yang yang dialami etnis Rohingya. Sebab, Suu Kyi menolak mengutuk militer atas tindakan mereka atau mengakui laporan kekejaman terhadap etnis itu.
Beberapa orang awalnya berpendapat bahwa ia adalah seorang politikus pragmatis, mencoba untuk memerintah negara multi-etnis dengan sejarah yang kompleks.
Namun pembelaan pribadinya atas tindakan tentara di sidang Mahkamah Internasional pada tahun 2019 di Den Haag dipandang sebagai titik balik yang melenyapkan sedikit yang tersisa dari reputasi internasionalnya.
Di negaranya sendiri, bagaimanapun, "Nyonya", begitu Suu Kyi dikenal, tetap sangat populer di antara mayoritas umat Buddha yang memiliki sedikit simpati untuk etnis Rohingya. []