DEMOKRASI.CO.ID - Ada pertanda serius di balik ajakan Presiden Joko Widodo meminta masyarakat memberi kritikan kepada pemerintah.
Menurut pandangan Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf, ajakan tersebut kontras dengan fakta di lapangan bahwa begitu membludaknya kritikan masyarakat terhadap segala kebijakan pemerintah.
"Agak aneh jika Jokowi selama ini tidak tahu begitu banyak kritik yang sudah beredar di media sosial. Apalagi Jokowi punya akun Twitter sendiri, kecuali akunnya tidak dipegang sendiri seperti Donald Trump," kata Gde Siriana kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (11/2).
Setidaknya, ada dua alasan yang mendasari presiden mengajak rakyatnya untuk memberi kritikan kepada pemerintah. Pertama, kata dia, ada kemungkinan orang di lingkaran istana menutupi maraknya ketidakpuasan dan kritikan rakyat kepada pemerintah.
"Baik itu di kementerian, elite parpol, atau staf khususnya. Bisa karena mereka ABS (asal bos senang) atau karena dianggap percuma juga disampaikan karena tidak akan ditanggapi serius oleh Jokowi," jelasnya.
"Kedua, rakyat sudah meninggalkan Jokowi. Dalam negara demokrasi modern, seharusnya kritik itu bisa datang baik dari pendukung/pemilih atau yang kontra di Pilpres," sambungnya.
Di sisi lain, ia melihat ada kecenderungan rakyat yang mulai enggan untuk menyampaikan kritikan. Hal itu lantaran adanya pendengung ataubuzzer yang kerap menyerang para pengkritik.
"Ketika semua kritik dipersekusi buzzer penguasa, bahkan sampai dikriminalisasi dengan UU ITE, maka ini membuat rakyat takut, 'masa bodoh', 'cuek', dan lelah," urai Gde Siriana.
Kondisi ini kian diperburuk dengan fungsi DPR RI yang tidak berjalan efektif sebagai pengontrol dan pengkritik kebijakan pemerintah.
"Seharusnya DPR aktif mengkritisi dengan menyuarakan kepentingan rakyat. Bukan membawa kepentingan segelintir elite partai dengan menjadi bagian dari carut-marutnya pemerintahan ini," demikian Gde Siriana. (*)