DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joe Biden bereaksi keras terhadap aksi kudeta militer di Myanmar. Dalam pernyataannya pada Senin (1/2), Biden mengancam akan memberlakukan kembali sanksi terhadap negara itu.
Dia mengatakan apa yang terjadi di Myanmar merupakan serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum.
Biden menegaskan bahwa pemerintahannya akan segera meninjau kembali keputusan tahun 2016 untuk mencabut sanksi ekonomi di tengah harapan transisi damai ke pemerintahan demokratis.
"Amerika Serikat mencabut sanksi terhadap Burma selama dekade terakhir berdasarkan kemajuan menuju demokrasi," kata Biden, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (2/1). Menambahkan bahwa peristiwa kudeta membuatnya berpikir untuk kembali memberlakukan sanksi tersebut.
"Pembalikan kemajuan itu, akan membutuhkan peninjauan segera terhadap hukum dan otoritas sanksi kami, diikuti dengan tindakan yang sesuai," lanjutnya.
Biden kemudian mengimbau militer Myanmar untuk segera menghormati kemajuan menuju transisi demokrasi di negara itu. Ia juga mendesak komunitas internasional untuk bersatu dalam satu suara untuk menekan militer Burma agar segera melepaskan kekuasaan yang telah mereka rebut.
"Dalam demokrasi, kekuatan tidak boleh digunakan untuk mengesampingkan keinginan rakyat atau berusaha menghapus hasil pemilu yang kredibel," kata presiden AS itu, menambahkan bahwa AS akan selalu memperhatikan orang-orang yang mendukung rakyat Burma, termasuk di saat yang sulit.
Pada hari Minggu, militer Myanmar mengumumkan keadaan jam darurat setelah menahan Aung San Suu Kyi, bersama anggota senior lainnya dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang berkuasa.
Kudeta terjadi beberapa jam sebelum sesi pertama parlemen baru negara itu akan diadakan setelah pemilihan November di mana NLD memperoleh kemenangan besar. Militer mengklaim kudeta itu dilakukan karena 'kecurangan pemilu' dalam jajak pendapat yang dikatakan mengakibatkan dominasi NLD di parlemen. (RMOL)