DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Luhut Pandjaitan menegaskan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbeda. Perbedaan itu terletak pada poin siapa yang mengusulkan dan memberi instruksi.
"PSBB itu lahir berdasarkan permintaan dari bawah (pemerintah daerah), jadi gak seragam (pemberlakuannya). Tapi, kalau PPKM, itu perintah dari atas (pemerintah pusat). Jadi, kami bisa memberitahukan (saat) PPKM seluruhnya untuk melakukan ini," ujar Luhut ketika menggelar dialog perdana virtual dengan para dokter-epidemiolog terkait penanganan wabah pada Kamis (4/2/2021).
Namun, pria yang juga menjabat Menko Kemaritiman dan Investasi itu mengatakan, pemerintah tak lagi ingin menerapkan konsep yang sama selama PPKM. Pemerintah berencana PPKM diberlakukan di tingkat lingkungan terkecil, hingga ke RT dan RW.
"Kami fokus ke micro target, supaya orang tetap bisa jalan. Jadi, misalnya satu kampung dianggap menjadi sumber (penularan), ya kita lockdown saja," tutur Luhut kepada para ahli.
Usulan untuk membatasi pergerakan manusia hingga ke tingkat RT/RW merupakan salah satu tindak lanjut ketika PPKM akan berakhir pada 8 Februari 2021. Sementara, pergerakan manusia diperkirakan kembali tinggi ketika libur Imlek pada 12 Februari 2021.
"Jadi, kami sudah hampir sepakat libur pekan depan tidak akan kami lakukan (beri libur tambahan). Sebab, setiap habis libur panjang selalu menimbulkan masalah (kasus harian naik)," katanya.
Apa tanggapan para epidemiolog terkait usulan pemerintah yang ingin membatasi pergerakan masyarakat hingga ke lingkungan RT/RW?
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr Pandu Riono, menilai pembatasan pergerakan masyarakat hingga ke tingkat RT/RW tidak akan efektif untuk mencegah penyebaran virus Sars-CoV-2. Sebab, ia memperkirakan warga akan tetap berinteraksi dengan lainnya di lingkungan tempat tinggal.
"Misalnya, warga pada hari Minggu mau berolahraga bareng, emang gak boleh? Mereka tetap bersosialisasi," ujar Pandu ketika dihubungi IDN Times, Kamis (4/2/2021) malam.
Pandu termasuk salah satu epidemiolog yang diundang dan menyampaikan penilaiannya soal penanganan wabah ke Luhut. Menurut Pandu, langkah untuk menekan penularan virus corona yaitu dengan meningkatkan TLI (tracing, lacak dan isolasi).
Ia juga mengingatkan pemerintah terus mengawasi warga yang melakukan isolasi mandiri. Sebab, apabila ada satu warga yang tertular COVID-19 tak mengikuti protokol isolasi dengan baik, maka bisa menjadi spreader ke individu lain.
Pandu tak menentang ide PPKM ingin diperpanjang di Pulau Jawa dan Bali, namun aturan mainnya harus diperketat dan penerapannya harus konsisten. Selain itu, ia mengingatkan pemerintah agar menggandeng masyarakat dalam upaya penanganan wabah. Fase penularan yang kini terjadi sudah sampai di lingkungan terdekat, yaitu keluarga.
"Sebaiknya, masyarakat diajak agar waspada saat hadir di acara-acara keluarga, pernikahan hingga keagamaan. Salah satu yang jadi sumber penularan cukup tinggi ketika akhir tahun 2020 digelar pesta pergantian tahun di rumah. Itu yang membawa bencana," ujarnya lagi.
Dalam pertemuan dengan para epidemolog dan dokter, Luhut mengungkapkan hal menarik lainnya. Ia mengakui ada sekitar dua juta data kasus COVID-19 yang belum masuk dalam laporan versi pemerintah.
"Masalah data ini, kami akui. Tapi, dengan Pak Budi (Budi Gunadi, Menkes) dengan Wakil Menteri Kesehatan, pada tanggal 15 (Februari) atau pertengahan bulan ini, Peduli Lindungi akan sinkronisasi data sehingga lebih baik. Ada hampir dua juta atau lebih yang belum dientri sehingga berpengaruh ke positivity rate," tutur Luhut.
Ia pun berharap sinkronisasi data itu bisa rampung pada Maret 2021. Keluhan soal data yang tidak sinkron sesungguhnya sudah disampaikan sejak lama.
Salah satu kepala daerah yang lantang menyuarakan itu adalah Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Ia menyebut ada sekitar 20 ribu data kasus baru COVID-19 di Jabar yang belum dirilis oleh Kemenkes. Keterlambatan rilis data harian itu dikarenakan sistem pelaporan dan penyesuaian data yang terlalu bertele-tele.
Di dalam diskusi, Luhut juga menegaskan COVID-19 bukan aib. Sehingga, ia meminta publik memiliki empati lebih dalam terhadap individu yang terpapar.
"Siapa saja kan bisa terkena COVID-19," kata dia.
Hal tersebut bertentangan dengan sikap tertutup yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, ketika terinfeksi COVID-19 pada akhir 2020. Ia seolah baru memberikan pengakuan pernah terpapar ketika melakukan donor plasma konvalesen.
Di sisi lain, Luhut mengatakan tingkat kedisiplinan warga terhadap protokol kesehatan masih rendah. Warga yang mematuhi aturan untuk mencegah penyebaran virus corona itu diperkirakan baru sekitar 40 persen.
Oleh karena itu, salah satu yang fokus pemerintah saat ini yakni memperbaiki program agar warga mengenakan masker dengan benar.
"Mungkin maskernya (yang dipakai) gak harus N95, tapi harus buatan dalam negeri (masker yang dijual ke warga), sehingga industri dalam negeri jalan," ujar Luhut. []