DEMOKRASI.CO.ID - Pengamat IT Heru Sutadi menilai inovasi sertifikat tanah elektronik dari Kementerian ATR BPN memiliki beberapa risiko. Nantinya sertifikat elektronik itu akan menggantikan sertifikat tanah asli yang ditarik oleh Kementerian ATR/BPN.
"Sebenarnya sertifikat asli tetap harus dipegang pemilik. Selama ini yang asli dipegang pemilik saja banyak yang palsu, apalagi tidak dipegang," ujar Heru menyatakan kekhawatirannya saat dihubungi MNC Portal Indonesia hari ini (2/2) di Jakarta.
Karena itu dia juga mengingatkan agar BPN harus mau mengembangkan teknologi blockchain. Jadi sertifikat didukung data elektronik dan tidak bisa diubah sembarangan.
"Sekarang ini banyak masalah karena antara data di BPN dan di lapangan berbeda. Juga banyak tanah yang tidak ada sertifikatnya. Justru ini yang harus diperbaiki," jelasnya.
BPN menyatakan untuk bisa mewujudkan sertifikat elektronik ini instasi terkait harus membuat validasi terlebih dahulu dengan sertifikat tanah sebelumnya. Baik itu dari sisi data, ukuran tanah dan sebagainya. Setelah validasi selesai dan tuntas, barulah sertifikat tanah bisa berganti dengan sertifikat elektronik.
Ternyata sertifikat tanah asli yang dipunyai oleh setiap orang, nantinya tidak lagi tersimpan rapi di rumah. Tetapi wajib diserahkan ke pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) Nomor 1/2021 tentang Sertipikat Elektronik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan indikator berusaha dan pelayanan kepada masyarakat.
Aturan itu sekaligus juga mewujudkan pelayanan pertanahan berbasis elektronik. Nantinya, tidak ada lagi sertifikat tanah berwujud kertas, semuanya bakal berbentuk elektronik yang disebut juga sertifikat-el (elektronik). []