DEMOKRASI.CO.ID - Sepuluh kelompok etnis bersenjata Myanmar yang telah menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Nasional (NCA) pada Sabtu mengumumkan mereka tidak akan lagi bernegosiasi dengan pemerintah junta militer Myanmar dan akan mendukung upaya untuk menggulingkannya.
"Kami mendukung Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) dan protes publik terhadap kudeta militer dan kediktatoran militer, dan kami akan mencari cara untuk mendukung gerakan dan protes ini," kata pernyataan bersama, dilaporkan Myanmar Now, 21 Februari 2021.
Mereka juga mengutuk tindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai dan menuntut pembebasan tanpa syarat dari mereka yang ditahan sejak kudeta Myanmar 1 Februari.
"Masa depan tampaknya lebih sulit. Kita harus berdiri bersama dengan seluruh masyarakat," kata Letjen Yawd Serk, ketua Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan, dalam pertemuan online antara kelompok bersenjata hari ini.
Kelompok bersenjata, yang juga termasuk Persatuan Nasional Karen dan Front Nasional Chin, akan bekerja sama dengan komunitas internasional dan kelompok aktivis di dalam dan di luar negeri untuk membantu mengakhiri kediktatoran, kata pernyataan itu.
Pengumuman tersebut mengikuti diskusi dua hari antara 10 kelompok. Delapan dari mereka menandatangani NCA di bawah pemerintahan Thein Sein dan dua lainnya ditandatangani di bawah pemerintahan Aung San Suu Kyi.
Pada Ahad massa dalam jumlah besar kembali berunjuk rasa setelah dua orang pengunjuk rasa tewas oleh tembakan polisi sehari sebelumya di Mandalay.
Puluhan ribu orang berkumpul dengan damai di kota kedua Mandalay, tempat pembunuhan hari Sabtu terjadi, kata saksi mata, Reuters melaporkan.
"Mereka membidik kepala warga sipil yang tidak bersenjata. Mereka membidik masa depan kami," kata seorang pengunjuk rasa muda kepada kerumunan.
Klip video di media sosial menunjukkan anggota pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa dan saksi mengatakan mereka menemukan selongsong peluru tajam.
Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrews mengatakan dia prihatin dengan kematian dia demonstran di Mandalay, salah satunya seorang remaja laki-laki.
Juru bicara militer Zaw Min Tun belum mengomentari penembakan itu.
Dia mengatakan pada konferensi pers pada hari Selasa bahwa tindakan tentara berada dalam konstitusi dan didukung oleh kebanyakan orang, dan dia menyalahkan pengunjuk rasa karena memicu kekerasan.
Sebelumnya, seorang pengunjuk rasa perempuan muda bernama Mya Thwate Thwate Khaing, menjadi korban jiwa pertama di antara para demonstran pada hari Jumat. Dia ditembak di kepala pada 9 Februari di ibu kota Naypyitaw.
Ratusan orang Myanmar menghadiri pemakamannya pada hari Minggu.
Media militer Myanmar mengatakan peluru yang membunuhnya tidak berasal dari senjata yang digunakan oleh polisi dan pasti ditembakkan oleh "senjata luar". (*)