DEMOKRASI.CO.ID - Direktur Indonesia Future Studies (INFUS) Gde Siriana Yusuf meminta, hasil investigasi Komnas HAM terkait kasus penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek KM 50, sebagai pintu masuk pengadilan.
"Kesimpulan Unlawful Killing ini sebagai pintu masuk proses peradilan," kata Gde Siriana kepada RRI.co.id, Jumat (8/1/2021).
Gde mengatakan, kasus ini harus diungkap secara terang benderang, jangan sampai level bawah yang dijadikan korban.
"Tugas berat civil society adalah mengawal proses ini seadil-adilnya dan terang benderang, jangan hanya dikorbankan di level bawah atau pelaku lapangan. Harus sampai pada pemberi perintah, Kapolda dan semua yang memberi perintah ke tim lapangan," kata ia.
Pasalnya, kata ia, begitu banyak pelanggar HAM di Indonesia. Namun, tidak sampai kepada pelaku yang memberikan perintah.
"Sering terjadi dari beberapa kasus HAM faktanya sudah jelas tapi proses peradilannya hanya pelaku-pelaku bawahan yang dihukum," kata Gde Siriana.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan bukti surat penugasan dari Polda Metro Jaya untuk mengintai Habib Rizieq Shihab jelang penembakan 6 orang anggota Front Pembela Islam (FPI).
"Bahwa benar pihak Polda Metro Jaya melakukan pengerahan petugas untuk melakukan pembuntutan terhadap MRS sebagai bagian dari proses penyelidikan terkait kasus pelanggaran Protokol Kesehatan," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (8/1/2021).
Ia mengatakan, pembuntutan itu bagian dari penugasan berdasarkan surat tugas terhadap sejumlah anggota Direskrimum Polda Metro Jaya tertanggal 05 Desember 2020.
"Jadi kepolisian menyatakan bahwa ada beberapa yang bukan dari mereka di kawasan Markaz Syariah, Megamendung hingga kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat," ungkapnya. (*)