DEMOKRASI.CO.ID - Sudah setahun Harun Masiku, tersangka kasus suap yang menjerat Komisioner KPU, Wahyu Setiawan belum juga ditemukan. 8 Januari 2021 nanti genap setahun buron Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu belum juga tertangkap.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Azmi Syahputra menilai sangat janggal jika KPK yang selama ini dikenal handal menangkap borun dengan segala kekuatannya termasuk kekuatan lembaga negara yang mendukung belum dapat menemukan politisi PDIP Harun Masiku.
Menurutnya, jika KPK terlalu lama dan tidak dapat menemukan Harun Masiku, maka perlahan pikiran publik yang terbentuk "akan menjadi liar" dan yang terburuk dapat menduga seperti "ada kesengajaan untuk hilang atau menghilang".
"Atau bisa jadi dianggap pencarian KPK yang tidak maksimal, termasuk ada fakta yang ditutupi yang patut diduga ada kepentingan tertentu dilindungi," ujar Azmi Syahputra kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (6/1).
Padahal jika dibandingkan dalam kasus M. Nazaruddin, eks bendahara umum Partai Demokrat pada tahun 2011 lalu, yang bersangkutan bisa ditangkap. Dimana Menko Polhukam Djoko Suyanto pada waktu itu mengatakan berhasilnya penangkapan Nazaruddin atas kerjasama yang solid dari kerja sama interpol, Polri, KPK, imigrasi, Kemenkumham, serta Kemenlu. Akses penangkapan Nazaruddin juga sangat transparan dan informasi di publik sangat terbuka.
Namun, karakteristik dalam kasus Harun Masiku kasusnya cenderung lebih sulit terbuka, minim informasi guna mengungkap motif, modus pelakunya termasuk mengungkap pihak-pihak yang membantu apalagi dengan skema pencarian dengan tipologi kejahatan seperti ini akan jadi sulit menemukannya akibat akses yang cenderung tertutup.
Termasuk upaya mendorong guna mengungkap agar tindak pidana ini menjadi jelas dan terang.
"Biasanya pelaku yang seperti Harun Masiku ini diarahkan untuk "menahan diri sendiri", agar tidak muncul kisruh (heboh) di publik lebih lebar, dan bisa saja ada pihak yang mendesign untuk ini, dan pihak-pihak ini biasanya berkepentingan, sehingga pelaku "harus dilindungi" dan "diamankan" karenanya sulit mengungkap pelaku dengan tipilologi seperti ini," tutur Azmi Syahputra.
Jadi, dalam kasus Harun Masiku ini, elite negara yang selalu menyampaikan "bahwa negara tidak boleh kalah dengan kekuatan penekan mana pun" terkesan tidak jalan.
"Sehingga terlihat dengan rentang waktu yang sudah 1 tahun maka akan muncul penilaian publik, dimana akan terlihat potret wajah "penegakan hukum yang anomali", termasuk timbulnya angggapan di sebahagian masyarakat "bahwa jargon negara tidak boleh kalah" tidak bisa dioperasionalkan dalam kasus Harun Masiku," terang Azmi Syahputra.
Padahal, masih kata Azmi Syahputra, kalau KPK ada hambatan akibat hal-hal tertentu, KPK bisa gunakan ancaman pidana bagi pihak-pihak yang mencoba menghalangi proses penegakan hukum di Tanah Air.
"Ada sanksi pidana bagi siapapa pun yang mencoba menghalangi petugas penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum," ucapnya.
Maka apapun faktanya, antara harapan dan kenyataan yang tidak sama, tentu sikap harus optimis demi penegakan hukum tetap dipertahankan dan dijaga. Maka dengan pengangkatan enam jendral polisi di KPK pada Selasa (5/1), KPK diharapkan dapat menambah energi dan memaksimalkan kinerja termasuk dapat mendorong tim satgas yang dibentuk khusus untuk jadi tim pemburu kasus Harun Masiku.
"Guna lebih maksimal, agar salah satu PR buron KPK ini dapat tertangkap termasuk kasusnya terselesaikan dengan segera serta ada kepastian hukum. Tersangka lain dari kasus suap ini semuanya sudah dijatuhi hukuman oleh pengadilan, tapi sayangnya hukuman ini tidak berlaku bagi Harun Masiku," demikian Azmi Syahputra, pengurus Perhimpunan Dosen Hukum Pidana Indonesia (Dihpa). (*)