DEMOKRASI.CO.ID - Perangkat hukum yang digunakan pemerintah untuk membubarakan Front Pembela Islam berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) sejumlah kementerian/lembaga disoroti Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.
Pendiri Sekolah Hukum Jentera ini menilai, SKB yang dikeluarkan pemerintah tidak secara tegas membubarkan FPI dan sekaligus menyatakannya sebagai organisasi massa (ormas) terlarang.
"SKB ini memang tidak membubarkan juga tidak menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang," ujar Bivitri dalam kanal Youtube Refly Harun yang dikutip Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (1/1).
Bivtri menjelaskan, dari aspek perangkat hukum yang diatur di dalam pasal 8 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, SKB memang suatu bentuk peraturan yang lazim digunakan dalam praktik dasar hukum.
Namun di dalamnya, tidak terdapat diktum yang menyatakan FPI dibubarkan, seperti yang pernah tertera dalam Peraturan Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
"Kalau dilihat dari formatnya itu biasalah dalam praktik. Tapi masalahya kemudian adalah dampak dari pembuatan SKB ini. SKB ini memang cukup rapih secara ilmu perundang-undangan. Dalam arti dia tidak menyatakan melarang secara tegas (pembubaran FPI)," kata Bivtri.
"Memang ada kata melarang, tapi tidak secara tegas. Dia juga tidak ada kata membubarakan seperti waktu ada peraturan soal HTI," sambungnya.
Justru, lanjut Bivtri, SKB pembubaran FPI hanya menyatakan sudah bubar secara de jure karena sudah tidak memperpanjang izin ormas atau Surat Keterangan Terdaftar (SKT) ormas pada 21 Juni 2019 silam.
Tetapi disisi yang lain, Bivtri menyebutkan, SKB tersebut mengakui keputusan Mahkamah Konstitusi 82/2013, yang menyatakan Surat Keterangan terdaftar bagi ormas itu tidak wajib.
"Jadi ormas boleh-boleh saja melakukan berbagai kegiatan meskipun tidak memiliki SKT, itu keputusan MK-nya. Nah, SKB ini juga mengakui keputusan MK itu. Tetapi dia menyatakan FPI sudah bubar secara de Jure ketika dia idak lagi mendaftarakan diri pada 2019. Bubar secara de Jure," ungkap Bivitri.
"Kemudian dari situ, masuk ke diktum selanjutnya yang intinya SKB ini kalau dalam bahasa sehari-hari dibilang, 'kalian sudah tidak eksis secara de jure, karena kcamatanya adalah kacamata UU ormas yang haus kita kritik juga," tandasnya. (*)