DEMOKRASI.CO.ID - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi reaksi cepat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim soal aturan di SMK Negeri 2 Padang yang mewajibkan siswi nonmuslim memakai jilbab. Namun, Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri menyayangkan Mendikbud hanya merespons kasus baru yang kebetulan sedang trending topic.
"Mas Menteri tidak mengakui secara terbuka, mengungkapkan ke publik jika fenomena intoleransi tersebut banyak dan sering terjadi dalam persekolahan di Tanah Air," kata Iman di Jakarta, Minggu (24/1).
Menurut Iman, pernyataan Nadiem seharusnya membongkar persoalan intoleransi di lingkungan sekolah. Persoalan intoleransi di sekolah (di daerah umumnya) sebenarnya mengandung problematika dari aspek regulasi struktural, sistematik, dan birokratis.
“Kasus intoleransi di sekolah yang dilakukan secara terstruktur bukanlah kasus baru. Dalam catatan kami misalnya, pernah ada kasus seperti pelarangan jilbab di SMAN 1 Maumere 2017 dan di SD Inpres 22 Wosi Manokwari tahun 2019," ungkapnya.
"Jauh sebelumnya 2014 sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali. Sedangkan kasus pemaksaan jilbab kami menduga lebih banyak lagi terjadi di berbagai daerah di Indonesia," ujarnya.
Aturan daerah atau sekolah umum yang mewajibkan siswi nonmuslim memakai jilbab dan aturan larangan siswi muslim menggunakan jilbab adalah sama-sama melanggar Pancasila, UUD 1945, dan UU. Menyalahi prinsip toleransi dan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut P2G, di antara faktor penyebab utamanya adalah peraturan daerah (Perda) yang bermuatan intoleransi. Peristiwa pemaksaan jilbab di SMKN 2 Padang merujuk pada Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-iii/2005. Aturan yang sudah berjalan 15 tahun lebih, sebagaimana keterangan mantan Wali kota Padang, Fauzi Bahar.
Artinya ada peran pemerintah pusat, seperti Kemendagri dan Kemendikbud yang mendiamkan dan melakukan pembiaran terhadap adanya regulasi daerah bermuatan intoleransi di sekolah selama ini.
“Pemantauan Elsam tahun 2008 mencatat seperti instruksi Wali kota Padang, Perda No. 6 Tahun 2003 tentang Pandai Baca Al-Qur’an bagi Peserta Didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah menyimpan potensi intoleran di lingkungan sekolah," lanjut Iman.
Cara berpakaian keagamaan atau memilih tidak memakainya, serta tetap diberikan pelayanan pendidikan atas sikap anak tersebut adalah hak dasar yang dijamin Konstitusi UUD 1945, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan lebih detail lagi adalah Permendikbud No. 45 Tahun 2014 tentang Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Ekspresi cara berpakaian semestinya tidak menjadi penghalang dalam mendapatkan hak atas pendidikan seperti diamanatkan Pasal 31 UUD 1945. []