DEMOKRASI.CO.ID - Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana membenarkan pendapat bahwa negara selama ini turut berperan melanggengkan praktik rasisme terhadap warga Papua.
Pernyataan Arief itu merespons seteru antara Natalius Pigai dengan Ketua Umum Pro Jokowi-Amin (Projamin) Ambronicus Nababan. Usai unggahan foto Pigai yang disandingkan dengan gorila, mantan komisioner Komnas HAM itu menyebut negara memelihara rasisme sebagai alat pukul ke kelompok yang dianggap berseberangan.
Arif pun mencontohkan, bentuk pelanggengan rasisme itu ditunjukkan melalui diskriminasi pemerintah terhadap warga Papua.
"Misalnya contoh, kalau aksi saja, aksi menyampaikan pendapat di muka umum perlakuannya beda dengan aksi mahasiswa Papua dengan aksi masyarakat Indonesia yang lain," terang Arif lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Senin (25/1).
Dalam beberapa kasus lain, Arif mengungkapkan praktik diskriminasi terhadap warga Papua kerap ditemukan dalam proses peradilan. Baru-baru ini, lanjut dia, LBH Jakarta menangani kasus kasus pembunuhan terhadap pekerja konstruksi di Nduga yang diduga dilakukan bocah Papua usia 16 tahun.
Kasus tersebut nyatanya dihentikan, karena bocah tersebut menurut Arif merupakan korban salah tangkap. Akan tetapi meski dihentikan, ia menyoroti proses pengadilan yang menurutnya diskriminatif.
Proses peradilan terhadap bocah itu, misalnya, bahkan harus dibawa ke Jakarta. Selama beberapa kali proses peradilan, bocah itu bahkan tak didampingi kuasa hukum.
"Nah anak itu harusnya disidang di persidangan khusus. Yang menarik, mestinya prosesnya di Papua bukan di Jakarta. Sehingga hak-hak dia sebagai anak di peradilan hukum terlanggar semua," jelas Arif.
"Ini bentuk diskriminasi yang serius, gitu ya. Pelanggaran HAM-nya kental karena ada penyiksaan di situ," imbuh dia lagi.
Namun begitu LBH Jakarta hingga kini tak memiliki data statistik mengenai kasus rasisme maupun praktik diskriminasi warga Papua. Namun, Arif mengamini bahwa kasus serupa memang kerap terjadi.
Kasus paling nyata terjadi di Surabaya pada 2019 lalu, ketika sejumlah aparat meneriaki mahasiswa Papua sebagai monyet.
Praktik diskriminasi negara terhadap warga Papua, menurut Arif juga terlihat lewat penempatan ribuan aparat militer di Bumi Cenderawasih. Pasukan tersebut ditempatkan di Papua tanpa status hukum yang jelas, lain hal dengan darurat militer di Aceh awal 2000an silam.
"Kalau dulu di Aceh itu darurat militer. Kalau sekarang ngirim pasukan beribu-ribu orang, polisi juga tapi tanpa status hukum yang jelas. Itu kan politik diskriminasi," tutur dia.
"Politik yang akar persoalannya belum jelas. Jadi, tidak diperlakukan sama lah negara ini," sambung Arif.
Aksi rasisme baru-baru menimpa aktivis HAM asal Papua, Natalius Pigai readyviewed melalui unggahan tangkapan foto di akun Facebook Ambroncius Nababan. Dalam unggahan itu, foto Natalius disandingkan dengan foto gorila disertai komentar terkait vaksinasi.
"Edodoeee pace. Vaksin ko bukan sinovac pace tapi ko pu sodara bilang vaksin rabies," tulis akun Ambroncius Nababan dalam foto yang diunggah akun Twitter @NataliusPigai2, Minggu (24/1).
Dalam unggahan ulang tersebut Pigai menyebut rasisme kini menjadi kejahatan kolektif negara ke orang Papua. Menurut dia, saat ini warga Papua tengah berjuang melawan rasisme yang terjadi sepanjang lebih 50 tahun.
Melalui unggahan itu pula dia turut menyinggung orang kulit hitam Afrika-Amerika, Lloyd Austin yang kini menjadi Menteri Pertahanan Amerika Serikat.
"Aku bangga padamu, mr @Lloydah orang kulit hitam Afrika-Amerika paling kuat di dunia. Kami telah melawan rasisme kolektif [negara] Indonesia terhadap orang kulit hitam Melanesia Afrika [Papua] lebih dari 50 tahun. Penyiksaan, pembunuhan & genosida perlahan. Kami butuh perhatian," cuit Natalius Pigai. []