DEMOKRASI.CO.ID - Indonesia memang belum sampai dalam tahapan untuk menjadi negara otoriter secara penuh di era Presiden Joko Widodo. Akan tetapi, praktik tersebut sudah dapat ditemui dan dirasakan di kehidupan nyata.
Begitu kata Direktur Center for media and Democracy LP3ES, Wijayanto saat membuka diskusi bertajuk “Isu HAM Era Jokowi & Kekerasan Negara” yang digelar LP3ES, Sabtu (2/1).
Dia menjelaskan bahwa ada empat indikator praktik negara otoriter yang dapat ditemui dan dirasakan. Pertama diingkarinya aturan main demokratis dengan adanya keterlibatan lembaga-lembaga negara untuk memenangkan salah satu calon dan munculnya wacana dari pemerintah untuk membuat presiden dapat menjabat dalam tiga periode.
Kedua, kelompok oposisi semakin lemah. Hal ini seiring masuknya dua rival Joko Widodo di Pilpres 2019, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dalam struktur pemerintahan.
“Ketiga pembiaran terhadap kekerasan. Itu terjadi pada penolakan Omnibus Law dan juga penolakan revisi UU KPK,” sambungnya.
Sementara indikator yang keempat adalah adanya ancaman terhadap kebebasan sipil yang dapat dilihat dari teror terhadap para aktivis yang sampai saat ini kasusnya belum juga tuntas.
Hal ini terjadi ketika konsolidasi oligarki tidak diikuti dengan konsolidasi publik, sehingga para oligarch tidak memiliki penantang.
“Hal tersebut semakin nyata ketika kita berefleksi terdapat berbagai kebijakan pemerintah yang keluar tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, mulai dari New Normal hingga Omnibus Law dan pemaksaan diselenggarakannya pemilu,” tegasnya.
Menurut Wijayanto, sudah saatnya pemerintah kembali mendengarkan suara rakyat. Pemimpin-pemimpin yang terpilih tidak seharusnya memunggungi demokrasi dan mengutamakan aspirasi rakyat.
“Apalagi, aspirasi rakyat terutama dalam saluran digital, terhambat dengan adanya pasukan siber,” tegasnya.
Hadir sebagai pembicara dalam acara ini Fajar Nursaid (Direktur Eksekutif LP3ES), Nur Hidayat Sardini (Mantan Ketua Bawaslu, mantan anggota DKPP RI, dosen politik dan pemerintahan Undip), dan Fachrizal Afandi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya). (RMOL)