DEMOKRASI.CO.ID - Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun ikut berkomentar terkait keputusan pemerintah yang menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang.
Berdasarkan penjelasan Menkopolhukam Mahfud MD, FPI dinyatakan sebagai organisasi terlarang karena tidak mengantongi Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Namun FPI masih melakukan kegiatan dan itu dinilai bertentangan dengan aturan.
"Sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan, dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping atau razia sepihak, provokasi dan sebagainya," kata Mahfud MD.
Ketentuan larangan kegiatan ini diatur perundang-undangan dan putusan MK No 82 PUU/XI/2013 tanggal 23 Desember 2014.
Terkait pelarangan FPI ini, Refly mengatakan pemerintah tidak bisa sembarangan melakukan pembubaran terhadap sebuah ormas. Ia kemudian menyoroti Undang-undang Ormas Tahun 2017.
"Pembubaran FPI yang sudah eksis sejak 1998 engga bisa sembarangan. Memang saya pernah katakan dulu engga setuju dengan UU Ormas Tahun 2017 yang memungkinkan pemerintah bisa membubarkan sebuah ormas tanpa process of law tanpa proses hukum sama sekali," kata Refly dalam pernyataannya di akun YouTubenya dikutip, Rabu (30/12).
Refly mengatakan, ada proses yang dibalik dalam pembubaran ormas ini. Yakni pemerintah membubarkan terlebih dahulu ormas lalu kemudian ormas yang dibubarkan mengajukan gugatan ke pengadilan dalam hal ini PTUN.
"Prosesnya dibalik, ormasnya dibubarkan terlebih dahulu, lalu organisasi itu lakukan challenge kepada pengadilan agar status pembubaran tidak dilakukan," ucap Refly.
Selain itu Refly Harun juga mempertanyakan alasan pemerintah memutuskan FPI sebagai organisasi terlarang.
"Jadi harusnya melihat kesalahan apa secara spesifik kenapa dibubarkan apakah karena perbuatan masa lalu atau orang per orang," jelas dia.
"Kalau akhir-akhir karena mengadakan kegiatan kerumunan di Petamburan, Megamendung, penjemputan Habib Rizieq di Bandara lalu reuni 212 apakah itu justifikasi larangan FPI?" tutur dia.
Namun apa pun keputusan pemerintah saat ini, ia mengatakan sejarah akan menilai apakah langkah yang dilakukan pemerintah tepat atau tidak.
"Tapi apa pun itu biar sejarah yang menilai apa yang dilakukan pemerintah adil atau tidak, jangan lupa Prof Mahfud, Prof Eddy juga merupakan teman saya di UGM, pasti tahu betul," tutup dia. (*)