OLEH: HERSUBENO ARIEF
POLDA Metro Jaya menetapkan Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tersangka kerumunan massa di Markas FPI Petamburan.
Ancaman hukumannya sampai 6 tahun penjara. Begitu berita yang dirilis sejumlah media online hari ini, Kamis (10/12).
Di media sosial, berita tersebut menjadi perbincangan yang seru.
Ada yang menilai langkah polisi itu pengalihan isu. Polisi sedang tertekan dan terpojok dalam kasus terbunuhnya 6 orang laskar FPI.
Benarkah penetapan HRS sebagai tersangka merupakan pengalihan isu. Bukan proses hukum biasa?
Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, polisi sebenarnya sudah melayangkan panggilan kedua pada hari Senin (7/12). Namun pada Senin dinihari terjadi peristiwa mengenaskan itu.
Tanpa kehadiran HRS, penyidik rupanya telah melakukan gelar perkara kasus Selasa (8/12). Berdasarkan itu, penyidik menyimpulkan, status HRS secara resmi ditingkatkan menjadi tersangka.
Kalau benar seperti dicurigai publik ada pengalihan isu, maka dari sisi komunikasi publik/politik, polisi menerapkan strategi yang cerdik. Polisi tengah menerapkan manajemen pengelolaan isu, berupa pencegahan krisis.
Harus diakui, posisi polisi tengah tertekan.
Kasus penembakan 6 orang laskar FPI membuat komunikasi publik polisi kedodoran. Mereka hanya leading beberapa jam saja. Setelah Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran menggelar jumpa pers pada Senin (7/12) siang.
Semua media mainstream mengunyah informasi yang disampaikan. “6 orang lasykar FPI Ditembak Mati Karena Menyerang Petugas.”
Media-media mainstream menjadikan berita besar. Kategorinya Breaking News.
Konferensi pers yang digelar oleh Kapolda ini sesungguhnya sangat mengejutkan. Sebab sebelumnya FPI hanya mengumumkan bahwa 6 orang laskarnya yang mengawal HRS hilang. Diculik orang tak dikenal.
Pengakuan Kapolda Metro Jaya membuka tabir. Ternyata mereka bukan diculik orang tak dikenal. Mereka ditembak mati polisi.
Andai Kapolda tidak menggelar jumpa pers, kemungkinan besar kasusnya sampai hari ini masih menjadi misteri. Setelah itu, peta penguasaan informasi berubah total. FPI melalui Sekum FPI Munarman membuat bantahan.
Yang paling telak bantahan bahwa para laskar FPI ini tidak pernah membekali diri dengan senjata. Apalagi senjata api. Hal itu sangat terlarang.
Jadi bagaimana mungkin mereka menyerang?
Tak lama kemudian muncul rekaman suara komunikasi (voice note) antar-laskar FPI yang mengawal HRS.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat menyebut, voice note itu sebagai bukti adanya niat pengawal HRS menyerang polisi.
Voice note itu segera menyebar luas. Namun setelah dicermati secara detail, publik dan media punya kesimpulan yang berbeda dengan polisi.
Dari voice note tersebut justru diketahui rombongan HRS dikuntit oleh kelompok tak dikenal. Para pengawal mencoba menghalang-halangi, agar penguntit tak bisa mendekat mobil yang ditumpangi HRS.
Pada akhir percakapan, salah satu mobil mengaku melanjutkan perjalanan ke Bandung untuk mengecoh penguntit.
Setelah itu komunikasi terputus. Rombongan HRS selamat. FPI menyampaikan ke publik 6 orang laskarnya hilang diculik.
Kelanjutan cerita, seperti sama-sama kita baca di berbagai media. Beberapa saksi yang berada di rest area KM 50 memberi keterangan berbeda dengan polisi.
Arus opini publik berbalik. Apalagi kemudian kelompok civil siciety rame-rame mendesak dibentuk tim pencari fakta. Komnas HAM juga mulai menurunkan timnya.
Langkah Mabes Polri menarik kasusnya dari Polda, dan menurunkan Tim Divisi Propam tidak menurunkan tekanan opini publik.
Memilih medan pertempuran
Dengan menetapkan HRS sebagai tersangka, polisi tampaknya berupaya mengalihkan isu. Setidaknya bisa memecah fokus perhatian publik.
Penetapan HRS sebagai tersangka, bagaimanapun juga pasti akan memancing kemarahan pendukungnya. Apalagi kalau sampai HRS kemudian ditangkap dan ditahan.
Kemungkinan besar mereka akan kembali ramai-ramai ke Jakarta. Ini bisa menjadi santapan media.
Khusus bagi media elektronik, pengerahan massa yang sangat besar secara visual sangat menarik. Layak menjadi berita utama. Fokus media dan publik terpecah.
Dari sisi opini, penetapan sebagai tersangka ini sepenuhnya bisa dikendalikan oleh polisi. Ini menjadi domain penyidik.
Kalau terjadi perdebatan, levelnya pada ranah hukum. Bisa lebih dikelola (manageable).
Beda dengan kasus penembakan. Media dan publik bahkan bisa rame-rame menantang argumen polisi. Temuan media di lapangan. Pengakuan para saksi, membuat Humas Polri kewalahan melayani argumen publik.
Ini lapangan becek yang tak bisa lagi dikendalikan. Jadi lapangan permainan harus dialihkan.
Sekarang kita tinggal menyaksikan. Apakah FPI dan publik terpancing dan terpecah konsentrasinya.
Polisi mulai bermain cerdik dan kalkulatif.
Mereka memilih medan pertempuran yang pasti bisa dimenangkan. Bagi praktisi kehumasan, mengamati strategi polisi mengelola isu HRS ini, akan menjadi studi yang menarik.
Kegagalan komunikasi publik sebuah institusi, dampaknya bisa sangat serius. Paling berat adalah rusaknya reputasi (brand reputation).
Kalau sampai hal itu terjadi, apa pun yang disampaikan kepolisian, tidak akan dipercaya publik. Publik tidak lagi menimbang benar, apa salah. Muncul sikap apriori.
Soal ini harus benar-benar mendapat perhatian para pimpinan Polri.
Itu kalau masih peduli dengan reputasi lho….