DEMOKRASI.CO.ID - Perubahan syarat perjalanan transportasi umum jarak jauh secara mendadak menjelang hari Natal dan Tahun baru (Nataru) oleh pemerintah memicu banyak tanda tanya.
Berdasarkan aturan baru, penumpang transportasi umum, baik itu darat, laut, dan udara diwajibkan untuk menyerahkan hasil rapid test antigen, bukan antibodi, yang diperiksa maksimal tiga hari sebelum keberangkatan.
Anggota Ombudsman, Alvin Lie menyoroti perubahan aturan tersebut yang menurutnya tiba-tiba. Ia juga menggarisbawahi dasar perubahan aturan tersebut.
Alvin menuturkan, berdasarkan Permenkes No. 413/2020, Kementerian Kesehatan sudah lama tidak menerima rapid test antibodi sebagai instrumen deteksi. Tetapi pemerintah menggunakan tes tersebut untuk perjalanan yang mengacu pada Surat Edaran Gugus Tugas No. 9, di mana gugus tugas yang dimaksud sudah dibubarkan.
Meski gugus tugas sudah dibubarkan, surat edarannya masih menjadi landasan peraturan banyak pihak, termasuk untuk syarat bepergian dengan transportasi umum.
Hal tersebut menurut Alvin janggal, karena dengan bubarnya gugus tugas, maka syarat perjalanan yang diacu dalam surat edaran tidak dapat diubah.
"Aneh memang Surat Edaran diperlakukan sebagai landasan peraturan. Lantas bagaimana mengubah atau mencabut atau membatalkan Surat Edaran tersebut? Gugus tugas yang menerbitkan sudah tidak ada lagi," tegas Alvin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (17/12).
Terlebih, Alvin mengatakan, tidak ada peraturan yang menetapkan pencabutan atau pembatalan surat edaran tersebut.
Dalam Surat Edaran Gugus Tugas No. 9/2020, syarat perjalanan untuk transportasi publik tidak mewajibkan penggunaan rapid test antigen.
Di sana juga diatur, surat keterangan hasil uji Covid-19 berlaku selama 14 hari, tidak seperti aturan baru pemerintah.
"Mengapa pemerintah tiba-tiba syaratkan tes antigen? Apakah karena stok tes antigen sudah habis?" tanya Alvin.
"Patut diduga kebijakan wajib rapid test antigen ini rawan ditunggangi kepentingan bisnis," tandasnya. []