DEMOKRASI.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melaju dengan kecepatan tinggi, merengsek pihak-pihak yang dinilai mencoba mengambil keuntungan dari situasi sulit yang sedang dihadapi Indonesia.
Dinihari tadi, Minggu (6/12), Ketua KPK Firli Bahuri mengumumkan langsung penetapan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara (JPB) sebagai tersangka dalam kasus dana bansos Covid-19.
JPB tidak sendirian. Bersama dirinya ikut dijadikan tersangka empat orang lainnya, yakni Matheus Joko Santoso (MJS), Adi Wahyono (AW), Ardian I M (AIM), dan Harry Sidabuke HS).
Juliari yang adalah politisi PDI Perjuangan terlilit kasus pengadaan Bansos penanganan Covid-19 di kementerian yang dipimpinnya senilai hampir Rp 6 triliun. Dana sebesar itu dibagi dalam 272 kontrak dan dikucurkan dalam dua tahap.
Awalnya, Juliari menunjuk MJS dan AW sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek tersebut. Mereka, diduga atas persetujuan Juliari, menunjuk langsung rekanan dan mendapatkan fee yang disetorkan kepada Juliari melalui MJS.
Informasi yang diperoleh KPK mengenai alur patgulipat ini cukup detail. Paket bansos Covid-19 yang ditetapkan sebesar Rp 300 ribu, dan dari angka itu pihak JPB, MJS dan AW mendapatkan Rp 10 ribu.
Dari bulan Mei sampai November MJS dan AW membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa rekanan yang di antaranya AIM, HS, juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik MJS sendiri.
Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW. Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan Juliari.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 Miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB.
JPB, MJS, dan AW, sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara sebagai pemberi suap, AIM dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Juliari menjadi politisi PDI Perjuangan ketiga yang ditangkap KPK dalam beberapa waktu belakangan ini.
Sebelumnya KPK telah mencokok Bupati Cimahi, Jawa Barat, Ajay Muhammad Priatna. Ketua DPC PDIP di Cimahi ini ditangkap dalam kasus suap perizinan RSU Kasih Bunda.
KPK juga telah menangkap Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo, dalam kasus pengadaan barang atau jasa di lingkungan Kabupaten Bangai Laut pada tahun anggaran 2020.
Melilit Gerindra
Bukan hanya PDIP yang terlilit kasus korupsi. Sebelum menangkap tiga politisi PDIP di atas, KPK telah lebih dahulu menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang adalah politisi papan atas Partai Gerindra.
Anak didik Ketua Umum dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu dinilai bersalah dalam program ekspor benur atau baby lobster.
Edhy Prabowo ditangkap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, akhir bulan lalu (Rabu, 25/11) sesaat setelah tiba dari perjalanan ke Amerika Serikat. Bersama dirinya ikut diamankan sejumlah barang bukti berupa barang-barang mewah yang baru dibeli di Hawaii.
Kasus korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo ini membuat berang keluarga Djojohadikusumo.
Hashim Djojohadikusumo tak terima keluarganya diseret-seret dalam kasus benur ini. Apalagi, sampai menyeret anaknya, Saraswati Djojohadikusumo yang sedang ikut dalam pemilihan kepala daerah di angerang Selatan, Banten.
Hashim menggelar jumpa pers khusus untuk menjelaskan soal ini hari Jumat kemarin (4/12) di Jet Sky Cafe, Pantai Muara, Jakarta Utara.
Hashim menilai, kasus yang melilit Edhy Prabowo itu dipolitisasi pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan elektabilitas Saraswati dan pasangannya, Muhammad.
Skenario Batutulis Dua
Publik pemerhati politik dan tentu saja politisi tidak sekadar melihat apa yang ada di permukaan meja KPK.
KPK diyakini bekerja dengan sepenuh hati. Berusaha untuk memainkan peran sebaik mungkin dalam mencegah dan memberantas serta memberikan pendidikan anti korupsi kepada pejabat dan anggota masyarakat luas.
Namun di sisi lain, aksi yang dilakukan KPK ini tidak berada di ruang hampa politik. Wajar sekali apabila muncul berbagai dugaan dan perkiraan, serta skenario, mengenai maksud-maksud lain yang ikut mengiringi perkembangan sebuah kasus hukum.
Skenario yang bisa dibayangkan tidak sekadar seperti yang disampaikan Hashim Djojohadikusumo, yakni untuk menjatuhkan elektabilitas pasangan Muhammad-Saraswati di arena Pilkada Tangsel.
Pembicaraan di kalangan pemerhati politik dan politisi melampaui urusan Pilkada Tangsel. Sudah mulai berkembang pembicaraan mengenai kemungkinan memasangkan Prabowo Subianto dan Puan Maharani dalam Pilpres 2004.
Baik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri maupun Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto belum pernah bicara apapun mengenai skenario ini. Tetapi publik tentu mengembangkan sendiri berbagai skenario yang mungkin berdasarkan peristiwa-peristiwa politik yang telah dan sedang terjadi.
Pasangan Prabowo-Puan, bila benar terjadi, dianggap sebagai kelanjutan dari komitmen yang disampaikan Mega ketika dirinya berpasangan dengan Prabowo dalam Pipres 2009 silam. Dalam kesepakatan “Batutulis” itu Mega berjanji akan mendukung Prabowo sebagai calon presiden dalam pilpres berikutnya, yakni Pilpres 2014.
Tetapi, di arena Pilpres 2014 seperti yang sudah terjadi, Mega menjatuhkan pilihan pada sosok Joko Widodo. Pun begitu di arena Pilpres 2019 lalu.
Publik tentu masih mengingat babak ketika Prabowo mendatangi kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng. Tidak lama kemudian, Prabowo bertemu dengan Jokowi di MRT dan melakukan pembicaraan dari Lebak Bulus hingga Senayan.
Puncaknya adalah: Prabowo menerima tawaran duduk di kursi Menteri Pertahanan.
Kembali ke skenario “Batutulis Dua”. Disebutkan oleh sementara kalangan, tidak sedikit pihak-pihak terkait yang patut diduga kurang berkenan atau bahkan keberatan dengan skenario Prabowo-Puan. Tetapi tidak jelas juga apa yang dapat dilakukan halam hal mengisyaratkan ketidaksukaan itu.
Untuk sementara kesimpulan yang mungkin dapat ditarik adalah, kasus-kasus korupsi yang sejauh ini menyeret politisi PDIP dan Gerindra dianggap akan merontokkan skenario Prabowo-Puan, membuat kepercayaan pada kedua partai itu mengarah jatuh ke titik terendah.[rmol]