DEMOKRASI.CO.ID - Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memberi apresiasi atas evaluasi Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap KPK di tahun 2020. Namun dia juga mengkritik ICW karena melihat kerja KPK hanya saat menangkap para koruptor.
"Sayangnya ICW ini seperti orang yang lagi ngidap hipertensi, sehingga seleranya tidak bisa komprehensif, ICW tidak bisa nerima yang berasin-asin, maunya yang manis-manis saja. Karena kalau asin naik tensi darahnya!" kata Ghufron, kepada wartawan, Selasa (29/12/2020).
Ghufron menyebut dalam pandangan ICW, KPK adalah Komisi Penangkap Koruptor. Di mana menganggap kerja KPK hanya melakukan penangkapan terhadap koruptor.
"KPK tidak dinilai kalau mencegah apalagi mengedukasi masyarakat untuk sadar dan tidak berprilaku korup itu dianggap bukan KPK," ujar Ghufron.
Dia meyakini bahwa masyarakat Indonesia lebih dewasa seleranya dalam pemberantasan korupsi. Sehingga, kata dia, apa yang disampaikan ICW akan bertentangan dengan kesadaran antikorupsi rakyat.
"Rakyat Indonesia orang yang sehat, sehingga baik yang manis, asin maupun kecut harus dilahap. KPK itu didirikan oleh negara dan didanai untuk mencegah dan menindak, karena itu KPK harus menindak kala ada tipikor. Namun sebelum terjadi tipikornya, KPK juga harus mencegah dan menyadarkan penyelenggara negara dan masyarakat untuk tidak korup," jelasnya.
Lebih jauh, Ghufron menyebut ICW tidak melihat situasi saat pandemi Corona. Di mana lembaga-lembaga negara melambat bahkan off.
"KPK dengan kekuatan 25% SDM yang bekerja mengawal dana Covid-19 tersebut mencapai hasil optimal," katanya.
"Hasil dari pencegahan yang dilakukan KPK telah menyelamatkan potensi kerugian negara selama 1 tahun kami bekerja mencapai Rp 592 triliun, jauh melebihi 5 tahun kinerja periode sebelumnya yang mencapai Rp 63,4 triliun," sambungnya.
Seperti diketahui, ICW memaparkan data dari catatan ICW dan TII dalam evaluasi satu tahun KPK. Dia menilai justru ada kemunduran kinerja lembaga antirasuah dalam era Firli Bahuri.
"Jumlah kegiatan penindakan menurun. Pada tahun 2019 jumlah penyidikan sebanyak 145, sedangkan tahun ini hanya 91. Selain itu, untuk penuntutan, tahun 2019 berjumlah 153, sedangkan tahun ini hanya 75. Kemudian dalam konteks jumlah tangkap tangan, tahun 2020 KPK hanya melakukan 7 tangkap tangan," katanya.
"Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, 2019 (21 kali), 2018 (30 kali), 2017 (19 kali), dan 2016 (17 kali)," sambungnya.
Kurnia menyebut pada era Firli Bahuri, kepercayaan publik terhadap KPK menurun. Hal itu dibuktikan dari temuan lima lembaga survei pada sepanjang tahun 2020, mulai dari Alvara Research Center, Indo Barometer, Charta Politica, LSI, dan Litbang Kompas.
Lebih jauh, Kurnia juga menyinggung kegagalan KPK meringkus buronan. Menurutnya, hingga kini salah satu buronan kasus korupsi, mantan calon legislatif asal PDIP, Harun Masiku, tidak mampu diringkus oleh KPK.
"Padahal melihat rekam jejak KPK selama ini, harusnya tidak sulit untuk menangkap yang bersangkutan," ucapnya.(dtk)