logo
×

Sabtu, 12 Desember 2020

Kontroversi Tewasnya Enam Laskar FPI, Kriminolog: Kalau Mengikuti Protap Harusnya Dikasih Peringatan, Bukan Ditembak Mati

Kontroversi Tewasnya Enam Laskar FPI, Kriminolog: Kalau Mengikuti Protap Harusnya Dikasih Peringatan, Bukan Ditembak Mati

DEMOKRASI.CO.ID - Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Eliasta Meliala menjelaskan boleh tidaknya polisi langsung menembak mati atau wajib menembak kaki terlebih dahulu untuk melumpuhkan seseorang, sangat dipengaruhi kondisi di lapangan.

Pendapat itu disampaikan Adrianus menyusul kontroversi tewasnya enam Laskar FPI (Front Pembela Islam) saat berhadapan dengan sejumlah anggota kepolisian di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, Senin (7/12) lalu.

“Ini kembali lagi antara prosedur tetap (protap) di latihan dan kenyataan yang dihadapi. Dalam situasi tenang, ada jarak dengan pelaku, bisa dilakukan peringatan tiga kali, baru ke bagian yang melumpuhkan yaitu kaki.

Namun, itu cerita di latihan. Kenyataan bisa jadi tidak begitu,” ujar Adrianus dalam Podcast JPNN.com sebagaimana dikutip pada Sabtu (12/12).

Menurut anggota Ombudsman RI ini, dalam keadaan ‘bahaya yang tak terelakkan, maka polisi dapat mengambil tindakan tegas. Meski demikian, tetap ada perbedaan pendapat terkait hal tersebut.

“Selama tidak ada badan atau komisi yang menjadi reviewer, maka akan selalu begini. Orang menuduh dan polisi membela diri. Jadi perlu ada lembaga sebagai penilai,” ucap Adrianus.

Ketika menjadi anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), beberapa waktu lalu, Adrianus sangat berharap lembaga itu bisa menjadi reviewer independen yang berjarak dari kepolisian, terkait dengan situasi yang memiliki perbedaan pendapat.

“Cuma masalahnya, Kompolnas secara tupoksi, tidak begitu,” ucapnya.

Adrianus lebih lanjut mengatakan, selama tidak ada lembaga yang bersifat reviewer, maka akan tetap terjadi perdebatan.

Dia juga menangkap kesan, kepolisian sepertinya mengerti kondisi yang ada. Karena itu, Polri selama ini harus mengeluarkan bukti-bukti yang kuat terhadap sebuah peristiwa.

“Makanya mereka gigih sekali melahirkan data-data yang berbasis pada ilmu pengetahuan (SCI), untuk kemudian melahirkan suatu fakta yang tak terbantahkan,” jelas Adrianus.

Dia berharap dengan memiliki kemampuan SCI, ditambah nantinya ada lembaga independen yang menjadi penilai terhadap sebuah peristiwa, Polri bisa makin cepat menyelesaikan masalah-masalah yang sifatnya menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat. []

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: