Oleh: M. Rizal Fadillah
HRS beserta 5 orang lainnya termasuk Ketua Umum FPI Ust. Shobri Lubis ditetapkan sebagai tersangka di tengah tuntutan banyak pihak agar dibentuk Komisi Pencari Fakta Independen atas tewasnya 6 orang anggota Laskar FPI di area jalan tol Jakarta Cikampek Km 50.
Status tersangka sebelum pemeriksaan pribadi HRS dan masih dalam tenggang waktu pemanggilan nampaknya dipaksakan.
Tuduhannya melanggar Pasal 160 KUHP Jo Pasal 216 KUHP delik penghasutan melakukan perbuatan pidana. MK telah mengubah penghasutan sebagai delik materil. Harus ada perbuatan pidana ikutan. Awalnya berhubungan dengan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Peristiwanya adalah kerumunan saat pernikahan puterinya Syarifah di Petamburan. HRS sendiri sudah membayar "denda kerumunan" sebesar 50 juta rupiah.
Yang menjadi pertanyaan apakah ini kasus politik atau hukum?
Jika kasus hukum maka banyak hal yang masih dapat diperdebatkan secara hukum. Soal kerumunan yang dikenakan sanksi pidana untuk kebijakan PSBB yang bukan Karantina, masalah penguntitan kepada orang yang belum berstatus tersangka ataupun buron, penembakan hingga tewas, atau juga diskriminasi terhadap kerumunan lain yang diperlakukan berbeda. Kerumunan pilkada Gibran dan pilkada lain yang diabaikan.
Jika persoalan yang terjadi adalah politik, sebagaimana yang dikesankan selama ini, maka semangat untuk menghukum dengan "segala cara" justru melanggar prinsip dan asas negara hukum. Hukum dibawa jauh ke ranah politik. HRS sebagai bagian dari tokoh publik telah ditempatkan sebagai lawan politik yang harus "dihabisi". Jika iya seperti ini, maka melencenglah arah kehidupan sehat dalam berdemokrasi.
Sebaiknya segera kembalikan persoalan hukum ke jalur hukum. Hukum yang lebih humanis sesuai dengan prinsip negara bermoral berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum yang menjadi "tools of social engineering" bukan hukum yang semata menjadi alat pemaksa. Ketertiban itu memang perlu, akan tetapi keadilan jauh lebih perlu.
Mengeksplorasi habis-habisan peristiwa pernikahan puteri HRS agar bisa memenjarakan HRS, jelas merupakan kasus politik. Menghancurkan dan menginjak-injak hukum agar kekuasaan politik bisa berdiri tegak dengan penuh arogansi. Hukum yang terjajah, dipermainkan, dan alat kekuasaan.
Para pejuang hukum dan keadilan tidak boleh membiarkan keadaan seperti ini. Kedaulatan hukum harus tetap ditegakkan meskipun langit akan runtuh.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)