DEMOKRASI.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetakan Menteri KKP Eddy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap izin ekspor benur pada OTT di Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu.
Ketua Korupsi Nasional Watch (Korona Watch) Fadli Rumakefing menilai masih ada yang mengganjal dalam penangkapan dan penetapan tersangka Eddy Prabowo dkk, yaitu Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin tidak ikut ditangkap oleh KPK, padahal dia ada dalam rombongan.
Padahal jelas dalam keterangan yang disampaikan pada saat diwawancarai Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Ali Ngabalin mengatakan bahwa dia tahu benar dari mulai star, apa yang dibicarakan, ketemu dengan siapa, siapa-siapa saja yang ikut, dia mengetahui
"Lantas mengapa KPK tidak menangkap sinyal itu untuk menggali keterangan dan bukti baru dalam kasus izin ekspor benur ini," ujar Fadli, Rabu (2/12).
Menurutnya, KPK harus bertindak cepat, terbitkan surat perintah penyelidikan terhadap Ali Ngabalin terkait kasus izin ekspor benur yang telah menyeret Menteri KKP dan beberapa orang lainnya.
"Harapan kami KPK dapat menunjukan taringnya tanpa memandang bulu, dan jangan sampai ada intervensi kekuasaan terhadap lembaga antirasuh dalam kasus ini. Sebab ada indikasi banyak orang yang terlibat dalam kasus izin ekspor benih lobster," imbuh Fadli.
KPK menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap terkait perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Yaitu, Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP; Safri sebagai Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta sebagai Stafsus Menteri KKP; Siswadi sebagai Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK); Ainul Faqih sebagai Staf istri Menteri KKP; Amiril Mukminin; dan Suharjito sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP).
Edhy, Safri, Siswadi, Ainul, Andreau, dan Amiril selaku tersangka penerima suap disangka melanggar melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan, Suharjito selaku tersangka pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ali Ngabalin sendiri tidak ikut ditangkap karena dianggap tidak ikut terlibat.
Dalam berbincang dengan wartawan senior, Karni Ilyas dalam tayangan video pada kanal Karni Ilyas Club yang diyangkan 30 November 2020, penyidik senior KPK, Novel Baswedan membeberkan alasannya tidak turut membawa Ngabalin untuk diperiksa.
"Memang setiap proses upaya penangkapan atau tertangkap tangan, yang akan dilakukan untuk diamankan untuk diperiksa atau dilakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan itu adalah orang yang diduga sebagai pelaku, dengan syarat-syarat tertentu," ujar Novel Baswedan.
Pihak yang turut dibawa saat penangkapan merupakan orang yang diperlukan keterangannya sebagai saksi untuk menjelaskan peristiwa dugaan korupsi.
"Selain itu, tentu tidak (ikut dibawa), siapapun dia. Bukan karena beliau adalah pejabat atau apapun, bukan, tapi karena kepentingannya diperlukan apa tidak," kata Novel Baswedan.
Terkait peran Ali Ngabalin, Karni Ilyas pun merasa heran karena politisi Partai Golkar itu memisahkan diri pada saat petugas KPK menangkap Edhy Prabowo.
Namun, Novel Baswedan tidak mau memberi tanggapan dan menyerahkan untuk bertanya kepada Humas KPK.
"Saya kira itu nanti Humas KPK yang bicara, saya tak bisa wakili itu Pak Karni," jelasnya.(RMOL)