DEMOKRASI.CO.ID - Rasa kemanuasiaan setidaknya belum hilang dari Tanah Air. Meski belum jelas benar atau salah, bagaimana fakta kejadiannya, setidaknya kematian enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) mengetuk hati nurani sebagian besar publik Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan adanya urunan uang kepada keluarga enam orang anggota laskar tersebut.
Adalah Irvan Ghani, pemilik akun Twitter @ghanieierfan yang pertama kali mencetuskan kepada warganet untuk menyumbangkan sebagian harta untuk meringankan beban keluarga yang ditinggal mati anggota laskar.
Pengumpulan dana sejak Senin sore sampai Kamis itu mencapai sekitar Rp 1,2 miliar. Irvan mengatakan, pengumpulan dana itu semata-mata dilandasi rasa kemanusiaan.
“Saya merasa ada ketidakadilan dalam peristiwa itu. Alhamdulillah respons warganet luar biasa. Sampai saya tutup, donasi masih terus masuk,” katanya.
Yang menarik, meski kepolisian sudah menyatakan enam orang tersebut ditembak mati lantaran menyerang aparat yang bertugas tapi tetap saja publik bersimpati dan rela menyisihkan harta mereka untuk disumbangkan, padahal kondisi ekonomi sedang tidak baik, negara dilanda pandemi Covid-19.
Hal itu semakin memperkuat bahwa klaim polisi soal kematian enam anak muda tersebut tidak begitu saja dipercaya publik, hingga akhirnya duit Rp 1,2 miliar itu terkumpul dalam tempo empat hari saja.
Ini bukti rakyat tergerak hati nuraninya dan ada yang salah dengan cara polisi menindak keenam anggota laskar tersebut.
Berkaca pada hal tersebut, mesti ada pembenahan di institusi Polri, mengapa bisa keterangan penegak hukum tidak dipercaya oleh publik. Lalu mengapa FPI yang disebut-sebut sebagai ormas intoleran, pengacau, bisa mendapat simpati sebegitu besarnya dari publik.
Apa mungkin masyarakat tidak merasakan apa yang tertuang pada lambang dan motto Polri yang berbunyi Rastra Sewakottama yang berartikan pelayan utama bangsa?
Atau memang rasa kebatinan masyarakat terhadap FPI begitu kuat, hingga membuat mereka bergerak, massif, mencoba meringankan penderitaan keluarga para laskar yang tewas?
Dua pertanyaan tadi memang menjadi perkara pelik untuk dijawab, bahkan mungkin tidak ada satu insan pun yang bisa gamblang menjawab dan menjelaskan fenomena tersebut.
Namun yang pasti, meski dihajar pandemi, rasa kemanusiaan publik Indonesia tidak ikut terinfeksi oleh virus sial yang belum jelas kapan bisa hilang dari muka bumi.