DEMOKRASI.CO.ID - Operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar KPK pada Sabtu (5/12) di beberapa tempat di Jakarta, berujung pada pengumuman status tersangka Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara pada Ahad (6/12) dini hari WIB oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Total ada lima tersangka dalam perkara dugaan korupsi dana bantuan sosial (bansos) pandemi Covid-19 ini.
Perkara ini terbilang ironis bagi Juliari sebagai pimpinan tertinggi kementerian yang bertanggung jawab terhadap penyaluran bansos Covid-19. Jika merujuk pada riwayat penyaluran bansos selama pandemi, Juliari bahkan sempat mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada awal Mei lalu.
Kisruh penanganan bansos antara pemerintah pusat dan DKI terungkap saat Juliari menyatakan, penyaluran bansos oleh Pemprov DKI Jakarta tidaak sesuai dengan kesepakatan awal antara pemerintah pusat dengan Pemprov DKI Jakarta. Juliari menyebut ada kekacauan di lapangan setelah kementeriannya menemukan ada warga penerima bansos dari Kemensos sama dengan penerima bansos dari Pemprov DKI Jakarta.
"Pada saat Ratas terdahulu, kesepakatan awalnya tidak demikian. Gubernur DKI meminta bantuan pemerintah pusat untuk meng-cover bantuan yang tidak bisa di-cover oleh DKI," kata Juliari dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII, Mei lalu.
Juliari saat itu mengatakan, Pemprov DKI Jakarta menggunakan data yang sama dengan Kemensos soal penerima bansos sembako dampak Covid-19. Setelah kekacauan penerimaan bansos tahap awal, tahap berikutnya, disepakati untuk memasukkan usulan RT-RW.
"Jadi, untuk penyaluran bansos sembako tahap 1 dan 2 masih menggunakan data sebelumnya, tapi untuk tahap selanjutnya akan menggunakan data baru ditambah dengan usulan dari RT dan RW, agar bansos sembako lebih terasa lagi," kata Juliari.
Anies Baswedan saat itu merespons, bahwa inisiatif bansos sudah tercetus sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) digulirkan pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat baru mendistribusikan bansos pada 20 April 2020 kepada warga miskin dan rentan miskin yang terdampak Covid-19.
"Kami sudah menerapkan pembatasan itu sebelumnya dan rakyat akan kesulitan pangan jika belum ada bansos pangan sejak PSBB diberlakukan. Sehingga, kami Pemprov DKI Jakarta telah membagikan bansos terlebih dulu untuk mengisi kekosongan itu," kata Anies dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (7/5).
Kini, beberapa bulan setelah kisruh antara pemerintah pusat dan DKI soal pembagian bansos sembako Covid-19, Juliari ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, KPK menduga Juliari menerima suap senilai Rp 17 miliar dari fee pengadaan bansos sembako untuk masyarakat terdampak Covid-19 di Jabodetabek.
"Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada JPB (Juliari Peter Batubara) melalui AW (Adi Wahyono) dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," kata kata Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK pada Ahad (6/12) dini hari.
Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan Juliari. Uang tujuannya digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan JPB," tambah Firli. Sehingga, total suap yang diduga diterima Juliari adalah senilai Rp 17 miliar.
Dalam OTT pada Sabtu (5/12), petugas KPK mengamankan uang dengan jumlah sekitar Rp 14,5 miliar dalam berbagai pecahan mata uang yaitu sekitar Rp 11, 9 miliar, sekitar 171,085 dolar AS (setara Rp 2,420 miliar) dan sekitar 23.000 dolar Singapura (setara Rp 243 juta). Selain Juliari, KPK menetapkan empat tersangka lain sebagai penerima suap yaitu Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono. Sedangkan, tersangka pemberi suap adalah Ardian IM dan Harry Sidabuke.
Perkara ini, menurut Firli, diawali adanya pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Nilai total bansos sembako itu mencapai Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak pengadaan dan dilaksanakan dengan dua periode.
"JPB (Juliari P Batubara) selaku Menteri Sosial menunjuk MJS (Matheus Joko Santoso) dan AW (Adi Wahyono) sebagai Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan," ungkap Firli.
Diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
"Untuk fee tiap paket bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bansos," tambah Firli.
Selanjutnya, Matheus dan Adi pada Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB dan disetujui oleh AW," ungkap Firli.
Program bansos sembako di Jabodetabek adalah salah satu dari enam program perlindungan sosial di Kemensos yang diselenggarakan pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19. Total anggaran untuk bansos sembako Jabodetabek adalah senilai Rp 6,84 triliun dan telah terealisasi Rp 5,65 triliun (82,59 persen) berdasarkan data 4 November 2020. []