DEMOKRASI.CO.ID - PDI Perjuangan menghadapi dilema antara mengusung 'putri mahkota' Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Puan merupakan putri dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang digadang-gadang bisa melanjutkan trah Soekarno untuk menjadi pemimpin masa depan meneruskan kekuasaan yang kini dipegang Joko Widodo (Jokowi).
Di sisi lain, Ganjar Pranowo adalah kader banteng moncong putih yang saat ini popularitas dan elektabilitasnya sedang meroket dan tertinggi dibandingkan kader PDIP lainnya. Bahkan, elektabilitasnya melampaui kandidat dari partai politik lain.
Pertanyaannya, siapa di antara dua nama itu yang bakal diusung PDI Perjuangan untuk maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang? Siapa yang lebih menguntungkan bagi PDI Perjuangan untuk diusung?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, dari sisi politik, PDI Perjuangan seharusnya bisa melihat realitas popularitas dan elektabilitas Ganjar Pranowo.
"Bahwa dengan mengusung Ganjar Pranowo maka mereka tidak akan kehilangan porsi kekuasaan karena Ganjar Pranowo selama ini kan tentu sangat loyal kepada PDIP. Jangan kemudian rasa ego sentris terhadap keluarga Soekarno itu kemudian menjadikan PDIP tidak mengusung orang yang seharusnya punya potensi kemenangan," ujar pakar komunikasi politik Telkom University dan Universitas Muhammadiyah Jakarta ini, Sabtu (5/12/2020).
Menurut Dedi, hal yang menjadi persoalan bagi PDI Perjuangan adalah jika harus memaksakan mengusung Puan Maharani, meskipun saat ini memegang posisi puncak di Parlemen sebagai Ketua DPR, namun elektabilitas dan popularitas Puan masih sangat rendah, jauh di bawah Ganjar Pranowo. Dibutuhkan upaya sangat ekstra untuk memompa popularitas dan elektabilitas Puan Maharani. Hal ini berbeda dengan Ganjar yang kini popularitas dan elektabilitasnya sedang berada di posisi teratas.
Hal yang harus juga menjadi pertimbangan PDI Perjuangan adalah jika memaksakan mengusung Puan, Ganjar bukan tidak mungkin bakal dipinang parpol lain untuk diusung menjadi capres.
"Kalau titik berangkatnya (PDIP) dimulai dari Ganjar yang sudah lebih populer dibandingkan Puan Maharani yang harus mendulang suara lebih banyak dibandingkan Ganjar, tentu Ganjar punya potensi untuk melakukan perlawanan," tuturnya.
Bagi Ganjar, kata Dedi, bila pada kondisi tertentu Puan Maharani harus didahulukan dan Ganjar tidak lagi punya potensi untuk maju sebagai capres dari PDIP, hitung-hitungan politisnya perlu juga bagi Ganjar untuk mendapatkan restu dari parpol lain.
"Karena parpol lain juga di Pilpres 2024 sama-sama sampai hari ini juga belum punya tokoh yang sangat populer. Kan bisa dihitung dengan jari parpol-parpol lain tidak punya tokoh yang berpeluang menang," urainya.
Dedi mencontohkan partai besar seperti Golkar, berdasarkan hasil Munas X pada November 2019 lalu, aspirasi kader Golkar saat itu mayoritas menginginkan ketua umumnya Airlangga Hartarto untuk maju sebagai capres pada 2024.
"Airlangga Hartarto juga saya kira tidak terlalu menarik bagi publik sementara tokoh-tokoh yang sangat populer seperti Ridwan Kamil, termasuk juga Anies Baswedan dan Khofifah Indar Parawansa justru bukan dari kalangan kader parpol," katanya.
Saat ini, menurut Dedi, dari ketokohannya, Ganjar bisa disebut sebagai satu-satunya kader parpol hari ini yang punya elektabilitas sekaligus popularitas tertinggi. "Tentu pengecualiannya adalah Prabowo Subianto, tapi rasanya Prabowo Subianto masa kejayaannya juga sudah mulai menurun, apalagi harus menunggu hingga 2024," tuturnya. (*)