DEMOKRASI.CO.ID - Joko Widodo adalah sosok yang patuh kepada ibunya. Jika ibunya, Sujiatmi Notomihardjo, bilang tidak, Jokowi akan menurutinya. Ketiga saudaranya juga demikian. Maka ketika Jokowi berniat maju sebagai Wali Kota Solo pada 2005, ia juga mendatangi sang ibu untuk menyatakan keinginan besarnya itu.
“Saya sudah siap mengabdi, Bu,” kata Jokowi seperti dicatat dalam Saya Sujiatmi, Ibunda Jokowi (2014) yang ditulis Fransisca Ria Susanti & Kristin Samah.
Tapi Sujiatmi tak pernah membayangkan anaknya akan menjadi wali kota, apalagi presiden. Justru kakek Jokowi, Wirorejo, yang pernah "meramal" bahwa cucunya akan menjadi tumpuan keluarga.
“Bocah berkepala besar itu pasti jadi orang,” kata Wirorejo sebagaimana diingat Sujiatmi saat Jokowi berusia 4 tahun.
"Ramalan" Wirorejo seperti terbukti puluhan tahun kemudian. Jokowi saat ini bukan hanya jadi tumpuan keluarga. Dia sudah menjelma sebagai tumpuan seluruh masyarakat Indonesia.
Tapi, "jadi orang" seperti apakah Jokowi setelah ucapan kakeknya 55 tahun silam?
***
“Lima tahun ke depan, mohon maaf, saya sudah enggak ada beban. Saya sudah enggak bisa nyalon lagi. Jadi apa pun yang terbaik untuk negara akan saya lakukan,” kata Joko Widodo dalam kampanye jelang Pemilihan Presiden 2019.
Frasa “tanpa beban” ini menjadi andalan Jokowi untuk meyakinkan rakyat bahwa ia bisa melawan desakan para elite politik dan menjalankan administrasi yang bekerja maksimal bagi kepentingan masyarakat.
Janji itu sebenarnya bukan kali pertama. Lima tahun sebelumnya, pada debat capres-cawapres 2014, satu pertanyaan penting yang diungkap publik kepada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla adalah bagaimana pemimpin negara bebas dari tuntutan partai dan menghindari perilaku koruptif?
Jawaban Jokowi:
“Sejak awal sudah kami sampaikan bahwa kami ingin membangun sebuah koalisi, sebuah kerja sama yang ramping. Tidak usah banyak parpol yang bergabung, tidak apa-apa. Tapi yang paling penting adalah bahwa nantinya dalam bekerja kami ingin mengedepankan kepentingan rakyat terlebih dahulu. Bukan membagi-bagi menteri di depan, bukan membagi-bagi kursi di depan, bukan membagi-bagi kue di depan, tapi yang paling penting adalah sejak awal kita sampaikan koalisi kita adalah kerja sama ramping. Ini untuk menghindari agar nantinya yang terjadi tidak hanya bagi-bagi kursi.”
Ketika Kabinet Kerja diumumkan pada Oktober 2014, 16 orang berasal dari partai politik dan 18 lainnya dari profesional non-partai. Status non-partai ini pun sebenarnya tak sepenuhnya murni. Sedangkan orang-orang yang berjasa kepada Jokowi-JK saat kampanye Pilpres 2014 mendapat posisi strategis.
Andrinof Chaniago, Ketua Tim Sukses Jokowi 2014, menjadi Kepala Bappenas; Amran Sulaiman, salah satu donatur terbesar Jokowi-JK, menjadi Menteri Pertanian; Andi Widjajanto, seorang pemikir di tim kampanye, menjadi Sekretaris Kabinet; Luhut Binsar Panjaitan, konco lawas Jokowi, sampai rela keluar dari Partai Golkar.
Jokowi bersikeras mengklaim tak menerapkan politik balas budi atau bagi-bagi jatah. Baginya, yang terjadi adalah sebuah kalkulasi matang. Bagaimanapun pemerintahannya membutuhkan dukungan partai politik agar bisa terlaksana dengan baik.
Tapi komposisi menteri yang diberikan kepada parpol sebenarnya secara tidak langsung menunjukkan Jokowi-JK memang membagi-bagi jabatan secara “adil” kepada partai pendukung. Pada akhir periode mereka, jumlah total menteri dari partai ada 14 berbanding 20 dari non-partai.
Komposisi menteri Jokowi-JK ini seperti memastikan bahwa mengutamakan kepentingan rakyat di atas elite hanyalah jualan kampanye.
Pada periode kedua kepresidenannya Jokowi beralih dari kabinet ramping menjadi kabinet gemuk. Alasannya, dia ingin melakukan akomodasi semua kepentingan yang, sekali lagi, mengatasnamakan kepentingan rakyat. Tidak cukup enam partai di parlemen mendukungnya, Jokowi, yang kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin, menambah Partai Gerindra sebagai bagian dari Kabinet Indonesia Maju.
Dengan komposisi ini, pembagian menteri tak jauh beda dengan sebelumnya. PDIP sebagai pemenang mendapat jatah empat menteri; disusul Partai Golkar (minus Luhut Panjaitan), PKB, dan Partai Nasdem dengan tiga menteri; kemudian Partai Gerindra dua menteri, dan PPP satu menteri. Selain itu Jokowi juga membagi-bagi posisi pejabat negara kepada tim sukses termasuk relawannya yang bergabung dalam pemenangan Pilpres 2019.
"Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong. Jadi perlu saya sampaikan bahwa di Indonesia ini tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi kita ini adalah demokrasi gotong royong," kata Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (24/10/2019).
Yuki Fukuoka dan Luky Djani, pada artikel mereka yang diterbitkan dalam South East Asia Research tahun 2016 berjudul Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?, menganggap sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama kampanye: mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.
“Hanya beberapa bulan menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi. Berkebalikan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘profesional’ tanpa tukar guling, Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya,” tulis Djani dan Fukuoka di bagian paling awal artikel mereka.
Di sisi lain, politik balas budi ini bisa jadi salah satu cara ampuh Jokowi memuluskan kekuasaannya. Ben Bland, peneliti dari Lowy Institute, mengambil contoh langkah Jokowi merangkul Prabowo. Baginya, upaya itu adalah pengkhianatan kepada demokrasi. Dengan diambilnya Prabowo, otomatis Partai Gerindra akan mendukung pemerintahan Jokowi; lantas siapa bisa menjadi oposisi yang “seharusnya ada dalam sistem demokrasi?”
“Ketika dia memilih Prabowo [sebagai Menteri Pertahanan] artinya sudah selesai,” kata salah satu pejabat kepada Bland seperti tertera dalam Man of Contradictions: Joko Widodo and the Struggle to Remake Indonesia (2020). “Dia melakukan itu untuk melumpuhkan oposisi.”
Bagian dari Oligarki
Wajar jika di awal kemunculannya dalam gelanggang politik nasional Jokowi menjadi pengharapan kelompok sipil dan aktivis. Yuki Fukuoka dan Luky Djani berargumen bahwa setelah Orde Baru tumbang, kelompok masyarakat tercerai-berai tidak beraturan. Akibatnya, pemegang kekuasaan masih tidak bisa jauh-jauh dari oligarki rezim terdahulu.
Bedanya, dengan kemunculan kelompok buruh dan aktivis, elite politik di era pasca-Orde Baru turut mempertimbangkan kepentingan masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagaimanapun suara mereka diperlukan untuk memenangkan pemilu. Mereka juga berani menyuarakan tuntutan yang lebih banyak dibanding masa sebelumnya sehingga praktik klientelistik ala Orba menemui tantangan berat.
Para elite politik tidak lagi mengandalkan patronase demi memenangkan kontestasi pemilu. Mereka mulai mendukung tokoh yang punya narasi peduli pada rakyat miskin dan berani memaparkan program-program populis. Tokoh seperti ini lazimnya muncul di periode demokratis setelah tumbangnya otoritarianisme yang melanggengkan praktik klientelistik.
Fukuoka dan Djani berpendapat, “ketika mobilisasi klientelistik menjadi kurang efektif, elite oligarki mulai selektif merangkul populisme dalam usaha mempertahankan cengkeraman pada struktur kekuasaan negara.” Dalam hal ini, pemimpin yang merakyat dan muncul dari luar tatanan Orde Baru menjadi sarana bagus untuk melakukan kooptasi.
Jokowi bukan seorang politikus yang tumbuh di masa Orde Baru. Dia putra seorang tukang kayu yang menanjak jadi pengusaha lokal sukses dan kemudian menjadi pejabat publik. Dia punya banyak inovasi dan menyelesaikan berbagai masalah di kotanya. Reputasi Jokowi mengalahkan banyak elite politik yang sudah terstigma korup dan tidak peduli pada rakyat.
Selanjutnya adalah sejarah. Jokowi kemudian didukung oleh Prabowo dari Partai Gerindra dan Megawati dari PDIP, sampai akhirnya PDIP mengusungnya sebagai presiden.
PDIP, yang besar karena dianggap sebagai antitesis Orde Baru di awal era Reformasi, sebenarnya merupakan bagian dari oligarki masa kini. Dukungan PDIP kepada Jokowi bukan karena kesadaran ideal bahwa bekas Wali Kota Solo itu adalah pemimpin terbaik untuk rakyat, tapi lantaran Jokowi adalah pilihan terbaik untuk menang. Bahkan hingga 2009, Megawati masih menginginkan Prabowo untuk menjabat di pemerintahan.
Jalan cerita itu dimaknai lebih dalam oleh Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, dalam riset berjudul "Oligarchy and Democracy in Indonesia" (2013). Menurut Winters, Jokowi adalah produk oligarki.
"Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi berkat dukungan dari kalangan mahasiswa hingga asosiasi ibu rumah tangga yang mendoronganya menuju kemenangan. Namun, bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilih. Meski dia mendapat dukungan akar rumput, dia bertarung dalam pemilihan gubernur bukan karena inisiatif atau gerakan politik akar rumput," kata Winters.
Jokowi berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya. Karena itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang, dia tidak bisa melawan kepentingan elite dan partai politik.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa. Para regulator di sekitar kekuasaan adalah pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elitenya, bukan dari masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini Jokowi citrakan.
Jatam mencatat, baik orang dekat Jokowi maupun pimpinan DPR, punya usaha yang berhubungan dengan tambang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas dan PT Multi Harapan Utama. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtra. Ketua DPR Puan Maharani punya suami yang aktif di Odira Energy Karang Agung dan PT Rukun Raharja. Sementara Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjadi Komisaris PT Sinar Kumala Naga.
Merah menganggap aturan yang belakangan ditetapkan, seperti omnibus law dan UU Minerba, juga hanya menguntungkan Jokowi beserta kelompoknya.
"Benturan kepentingan ini yang ditunjukkan oleh relasi bisnis atau temali bisnis antara keluarga Jokowi atau keluarga Luhut. Relasi bisnis ini berkelindan dengan relasi politik," ucap Merah kepada Tirto, Rabu (9/12/2020).
Sementara itu Ben Bland menilai Jokowi lebih banyak melakukan kompromi daripada melawan kepentingan berbagai pihak. Kepemimpinan Jokowi sebenarnya berantakan. Dia tidak punya filosofi politik yang jelas. “Jokowi tidak pernah menjadi seorang reformis demokrasi seperti yang pendukungnya pikirkan,” catat Bland.
Jokowi hanya mengikuti situasi yang terjadi di sekelilingnya. Pendeknya, dia tidak punya agenda dan visi sendiri terhadap demokrasi dan berbagai situasi di sekitarnya. Ketika ada gerakan dari kelompok Islam politik yang berusaha menjatuhkan dirinya, dia menarik Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden. Saat ada demonstrasi besar-besaran dari pendukung Prabowo yang berujung ricuh, dia menjalin koalisi bersama Ketua Umum Partai Gerindra tersebut.
Semuanya bersifat responsif. Tanpa ide cemerlang, tanpa solusi matang.
Narasi populis Jokowi sebagai capres berlatar belakang sipil yang berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu berhasil mengalihkan dukungan masyarakat dari Prabowo yang berlatar belakang militer dan punya masalah pelanggaran HAM.
Di tahun 2016, Jokowi makin membuktikan diri sebagai pemimpin populis semu. Dia melantik Wiranto, bekas Panglima ABRI yang diduga terlibat pembantaian orang-orang Timor Leste. Keputusan ini menuai kritik dari para pegiat HAM. Sepanjang 2016-2019, Wiranto menjadi simbol ketidaktegasan Jokowi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Tapi Jokowi tampak tak keberatan dilabeli sebagai presiden yang ingkar janji dan tidak mau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Marcus Mietzner, peneliti dari Australia, mencatat, Jokowi berhasil naik karena penurunan demokrasi dan situasi politik yang stagnan membuat masyarakat merindukan sosok populis pro-demokrasi. Tapi justru di tangan Jokowi pula demokrasi mengalami penurunan.
Perkataan Jokowi yang mendaku sebagai “wong cilik” dan “sekarang waktunya melakukan sesuatu bagi wong cilik” seperti omong kosong belaka. Sejak masuk ke gelanggang politik nasional, dia adalah bagian dari oligarki.
Dekati Militer, Rangkul Polisi
Leonard C. Sebastian dan kawan-kawan dalam Civil-Military Relations in Indonesia after the Reform Period (2018) menilai Jokowi sebagai presiden berlatar belakang sipil kelabakan menjaga kekuasannya. Pilihan dia akhirnya adalah menyandarkan diri kepada kelompok militer.
“Selain memperkuat konsolidasi kekuasaan, aliansi dengan militer mempermudah Jokowi mencapai ambisinya. Jokowi memastikan mendapat dukungan nasional dari seluruh daerah militer Indonesia yang bisa dijadikan perpanjangan tangan pemerintah memastikan jalannya kebijakan pusat di daerah-daerah terpencil,” tulis Sebastian dan kawan-kawan.
Orang-orang kepercayaan Jokowi banyak yang berasal dari kalangan serdadu. Di posisi Kepala Staf Kepresidenan ada mantan Panglima TNI Moeldoko. Posisi Menko Maritim dan Investasi ada Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Kesehatan ada Terawan Agus Putranto.
Ketika pandemi COVID-19 mulai merebak, Jokowi tetap mempertahankan Terawan meski banyak sekali pihak yang mendesak agar dokter militer itu segera diganti. Sedangkan Moeldoko merupakan salah satu dari tiga orang istimewa yang omongannya bisa dianggap mewakili Jokowi. Dan Luhut Binsar Panjaitan, semua orang tahu siapa dia.
Luhut adalah salah satu menteri yang mengenal Jokowi paling lama. Hubungan mereka bukan sebatas pemerintahan, tapi juga bisnis. Luhut mengaku kenal Jokowi sejak 2007. Padahal kala itu Jokowi seharusnya sudah menyerahkan perusahaan mebelnya ke saudara kandungnya.
Pada 2009 nama PT Toba Bara Sejahtra, perusahaan Luhut, tercantum sebagai pemilik saham minoritas di PT Rakabu Sejahtra. Lima tahun kemudian, Luhut selalu menempel dengan Jokowi.
Dia tidak pernah absen dalam pemerintahan Jokowi kendati posisinya terus berganti. Dia pernah menjabat Menteri Perindustrian dan Perdagangan; Kepala Staf Kepresidenan; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Perhubungan (Plt); Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi; dan, yang paling gres, Menteri Kelautan dan Perikanan (Plt)—sebelum digantikan Syahrul Yasin Limpo. Jokowi juga meminta Luhut menjabat Wakil Ketua Komite Kebijakan Pengendalian COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Antonius Made Tony Supriatma, menulis makalah berjudul “Jokowi and His Generals: Appeasement and Personal Relations” pada 2019. Dalam tulisannya, Made memandang Jokowi adalah orang yang sangat menghargai kedekatan dan loyalitas, tidak terkecuali pada kelompok militer. Sikap Jokowi ini melanggengkan kebiasaan militer akrab dengan politikus sipil untuk bisa mendapatkan jabatan tertentu.
“Kepemimpinan Jokowi menunjukan kecenderungan ini (bagi jabatan berdasar kedekatan) dan dia menunjuk orang-orang yang dia kenal baik, telah bekerja bersama dia, atau yang terbukti loyal kepadanya,” catat Made Supriatma.
Jokowi menempatkan militer di kekuasaan kemudian menyulap polisi jadi tukang gebuk pemerintah. Ketika mendapat kritik, Jokowi juga sering kali membiarkan polisi mengambil alih.
Setelah Jokowi-Ma’ruf menjabat setahun, hasil jajak pendapat yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan 36 persen responden menganggap Indonesia kurang demokratis.
Sedangkan mereka yang menganggap Indonesia lebih demokratis hanyalah 17,7 persen dari 5.614 responden. Sejak periode pertama, apa yang dilakukan Jokowi, meminjam kata-kata Ben Bland, banyak menjelma sebagai “langkah-langkah mundur seperti pada tahun kepemimpinan Soeharto.”
Di bawah Jokowi pula, pasal karet UU ITE menjadi laku digunakan, terutama oleh politikus. Penggunaan UU ITE untuk menjerat masyarakat sipil sering kali tidak berimbang. Aktivis di era Jokowi sudah merasakan betul bagaimana pasal karet tersebut digunakan untuk membungkam kritik yang mereka lakukan lewat media sosial, tapi tidak digunakan untuk mereka yang melakukan pelanggaran dari kubu pendukung Jokowi.
Misalnya saja mantan dosen Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet. Ia diperkarakan karena melakukan orasi sembari bernyanyi mengkritik militer di depan Istana Negara. Robet disangkakan telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk "menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan" pada 2019.
Kemudian ada jurnalis dan aktivis HAM Dandhy Laksono yang ditetapkan tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan ujaran kebencian. Penetapan itu dilakukan setelah penyidik Polda Metro Jaya memeriksa Dandy pada Jumat dini hari, 27 September 2019. Dandhy dikenai pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45 A ayat (2) UU 11/2009 tentang perubahan atas UU 8/2016 tentang ITE dan atau Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Bagi Made Supriatma, kelakuan Jokowi makin hari makin menyerupai Soeharto dalam membungkam kritik.
"Jokowi punya perangkat hukum yang bikin Soeharto iri. UU ITE umpamanya. Dia kasih payung hukum untuk bertindak seperti Soeharto, tapi dengan concern hukum dan secara legal. Di situ, saya kira, yang membuat Jokowi sangat berkuasa. Dia tidak punya lagi perhatian pada rakyat biasa. Hilang semua reformasi dan korupsi yang selama ini dia gemborkan," ucap Made kepada Tirto, Rabu (9/12/2020).
Jika kritik masyarakat sudah tak bisa lagi didengarkan, semoga Jokowi belum melupakan nasihat almarhumah ibunya.
“Ketika kamu memutuskan untuk terjun ke politik, itu adalah sebuah panggilan untuk mengabdi pada masyarakat dan bukan sebagai perhitungan berapa modal yang dikeluarkan dan berapa yang harus kembali. Kekayaan hanyalah titipan, karena dalam setiap kekayaan yang kita miliki sesungguhnya terdapat hak masyarakat yang ada di sekitar kita tinggal,” kata Sujiatmi.
Buzzer dan Permainan Politik Identitas
Gaya Jokowi dahulu sebagai pemimpin Jakarta yang gemar blusukan menjadi daya tarik internasional. Ketika terpilih sebagai Presiden RI pada 2014 wajahnya muncul di sampul majalah Time dan headline-nya dengan jelas tertulis:“A New Hope”—harapan baru.
Banyak orang di luar negeri mensejajarkan Jokowi dengan Barack Obama, presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat. Obama populer karena berasal dari kelompok minoritas. Sedangkan Jokowi populer karena terkesan datang dari kelompok bawah. Keduanya juga menggunakan jejaring anak muda untuk mendongkrak popularitas. Kepopuleran inilah yang berhasil dimanfaatkan Jokowi untuk kemenangan elektoral.
Cara Jokowi paling utama untuk meraih popularitas adalah melalui media. Baik media massa maupun media sosial. Pada Pilkada Jakarta 2012, penggunaan media sosial menjadi terobosan baru dalam kampanye. Secara mengagetkan, Jokowi-BTP bisa mengalahkan petahana.
Penggunaan media sosial sebenarnya adalah teknik "sekali mendayung dua-tiga pulau terlewati". Selain efektivitas, Jokowi-BTP juga mengakali dana kampanye yang terbatas. Mereka hanya didukung oleh dua partai, PDIP dan Gerindra. Sedangkan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli didukung oleh 7 partai. Hasil pengumpulan sumbangan kampanye Jokowi-BTP hanya mencapai Rp16,3 miliar. Sementara dana kampanye lawannya mencapai Rp62,6 miliar.
Jokowi-BTP hanya menghabiskan Rp 16 miliar, sedangkan Foke-Ramli hampir ludes dengan penggunaan Rp 62,5 miliar. Tapi perolehan suara mereka berbeda lebih dari 350 ribu suara dengan keunggulan pasangan Jokowi-BTP.
Jokowi, seperti tercatat dalam penelitian Muninggar Sri Saraswati berjudul "Social Media and the Political Campaign Industry in Indonesia", punya kelompok relawan yang lebih serius daripada Foke-Ramli. Relawan ini membuat wadah tersendiri bagi pegiat media sosial bernama Jokowi Ahok Social Media Volunteers (Jasmev). Salah satu yang bergabung di sana adalah pemilik akun Twitter @kurawa yang dikenal dengan nama Rudi Valinka atau Rudi Sutanto.
Akun @kurawa berkali-kali berusaha mendiskreditkan pemerintahan sebelumnya yang dipimpin Foke. Sedangkan Foke berusaha menangkal dengan menggunakan akun @TrioMacan2000 yang dikelola Raden Nuh dan Abdul Rasyid. Akun ini sempat meminta Rp1 miliar kepada Jokowi-BTP untuk menggunakan jasanya, tapi ditolak.
Hasilnya, @TrioMacan2000 tidak mampu menangkal kampanye dari @kurawa dan kawan-kawan di Jasmev. Inilah awal kesuksesan Jokowi dalam menggunakan media sosial.
Media sosial menjadi kunci pola marketing politik bauran. Inilah yang dilakukan oleh Jokowi dan Ahok dan membuat mereka memenangi gelanggang elektoral,” kata peneliti Remotivi, Wisnu Prasetya Utomo, dalam tulisan berjudul "Menimbang Media Sosial dalam Marketing Politik di Indonesia: Belajar dari Jokowi-Ahok di Pilkada DKI Jakarta 2012" (2013).
Pada 2014 Jasmev kembali aktif. Admin akun @TrioMacan2000 juga ditangkap oleh polisi dan kredibilitasnya menurun. Otomatis lawan Jokowi di media sosial makin berkurang. Salah satu pesaing paling besar, tabloid Obor Rakyat, yang menebar tuduhan hoaks bahwa Jokowi keturunan PKI, pemiliknya juga ditangkap polisi.
Setelah menang, pekerjaan relawan Jokowi ini tidak selesai begitu saja. Justru setelah itu muncul orang-orang yang makin giat menyuarakan Jokowi di media sosial. Titik baliknya terjadi sekitar 2016 menjelang Pilkada Jakarta. Akun Twitter seperti @DennySiregar, @EkoKuntadhi, @PepihNugraha makin tenar dan ramai menyuarakan pendapat mereka di media sosial.
Setelah BTP kalah dalam pemilihan gubernur, mereka kemudian masuk ke dalam isu nasional. Berkali-kali memuja-muja kinerja Jokowi-JK dan menyerang balik berbagai kritik yang muncul pada pemerintahan Jokowi. Aksi ini ramai dilakukan sampai sekarang. Kini akun Twitter anonim @digeeembok juga ikut serta.
Tidak jarang, omongan mereka dilandasi klaim-klaim tanpa bukti. Misalnya saja soal tudingan Taliban di KPK oleh Denny Siregar. Sampai sekarang hal itu tidak pernah benar-benar terbukti. Omongan ini menjadi senjata untuk melawan aspirasi mahasiswa yang tidak sepakat dengan revisi UU KPK.
Dua peneliti asal Australia, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, menyatakan setelah 21 tahun berlalu demokrasi Indonesia berada pada titik terendah di tangan Jokowi.
Seperti Jokowi yang meniru kesuksesan Obama, bukan tidak mungkin tren menggalang relawan-relawan pendukung di media sosial yang menyebarkan informasi “abu-abu” akan terus berulang di kemudian hari. Kritik kepada pemerintah bukan lagi menjadi keistimewaan, tapi justru harus dilakukan dengan upaya lebih keras karena jika tidak hati-hati, tantangannya adalah penjara.
Relawan-relawan dan tren buzzer alias pendengung ini akan terus jadi andalan di dalam politik. Asalkan narasi mereka bisa dikombinasikan dengan tindakan aparat negara, maka kemungkinan besar kemenangan dalam pemilu ada di depan mata.
“Buzzer ini adalah industri. Karena ini uang. Sekali dia diciptakan dan dia ada, itu akan tetap ada. Siapapun akan memakai itu apapun ideologinya. Itu sudah jadi hukum besi dalam politik,” kata Made Supriatma.
Media sosial adalah awal dari masa kejayaan Jokowi di Indonesia. Menurut Made, Jokowi paham betul pentingnya media sosial ketika menuju Jakarta pada 2012. Pencitraannya mantap. Sebagian besar orang menganggapnya antitesis dari semua elite politik di Indonesia. Dari situlah dia berhasil dipilih dan lewat media sosial ini pula Jokowi memberikan warisannya.
Dia berhasil merebut suara kelompok Islam, terutama dari kalangan nahdliyin, yang merupakan mayoritas di Indonesia, sekaligus kelompok minoritas melalui media sosial. Lewat media sosial pula akun-akun pendengung Jokowi menciptakan perpecahan ideologis dan mengkapitalisasi identitas masyarakat Indonesia yang beragam.
Jika ada yang mengatakan Prabowo mempolitisasi agama untuk kepentingan politik, itu memang nyata adanya. Tapi jangan lupa, ketika Jokowi menyasar kelompok pluralis dan minoritas, menurut Made Supriatma, "Jokowi memakai agama lebih banyak daripada Prabowo." []