logo
×

Sabtu, 12 Desember 2020

BUMN China Gagal Bayar Utang Rp564 Triliun

BUMN China Gagal Bayar Utang Rp564 Triliun

DEMOKRASI.CO.ID - BUMN China dilaporkan mulai gagal membayar utangnya. Perusahaan negara gagal membayar obligasi senilai 40 miliar yuan atau US$6,1 miliar.

Itu setara Rp564 triliun (kurs Rp14.100). Gagal bayar terjadi antara Januari dan Oktober 2020.

Permasalahan utang pelat merah Negeri Tirai Bambu ini tidak hanya akan menjadi gejolak sistem keuangan China yang dapat menghancurkan ekonomi negara. Itu juga berpotensi memperlambat upaya  pemulihan mereka dari pandemi.

Utang yang membelit BUMN China ini kian buruk dalam beberapa pekan terakhir. Perusahaan raksasa seperti partner BMW China, Brilliance Auto Group, pembuat chip ponsel Tsinghua Unigroup, dan Yongcheng Coal & Electricity mendeklarasikan diri bangkrut atau gagal bayar pinjaman mereka bulan lalu.

Kejadian ini sontak membuat pasar utang China terguncang hingga mengakibatkan harga obligasi anjlok dan suku bunga melonjak.

Gejolak bahkan meluas ke pasar saham. Harga saham BUMN China pun babak belur dibuatnya.

Tentu ini menjadi sinyal di beberapa bidang. Pertama, hubungan antara pemerintah China dan BUMN yang dikawatirkan akan merenggang. Kedekatan keduanya, biasanya membuat mereka menjadi taruhan yang aman di saat-saat sulit.

Jika pemerintah China tidak lagi mendukung BUMN, otomatis mereka menjadi instrumen investasi yang jauh lebih berisiko.

Kedua, kesuksesan BUMN China menjadi kritis bagi kestabilan sistem keuangan negara. Meski berkontribusi kurang dari 1/3 PDB negara, namun mereka memiliki lebih setengah dari total utang yang dikeluarkan di China.

Menurut data dari People's Bank of China dan perusahaan pialang China Huachuang Securities, BUMN memegang sekitar 90 persen dari obligasi korporasi negara.

"Kredibilitas jaminan pemerintah telah menjadi benteng terpenting melawan krisis keuangan sejauh ini. Sekarang kami melihat tanda-tanda bahwa kredibilitas ini terkikis," ujar Direktur Riset Pasar China di Rhodium Group Logan Wright, dikutip dari CNN Business, Kamis (10/12).

Dalam sejarahnya, Beijing enggan membiarkan perusahaan negara gagal bayar. Partai Komunis China menikmati kontrol ketat atas sebagian besar ekonomi, termasuk bisnis, dan percaya bahwa hubungan antara perusahaan-perusahaan ini dan pemerintah penting untuk dipertahankan.

Sekarang, tampaknya China bersedia membiarkan beberapa di antaranya bangkrut. Tetapi maraknya gagal bayar utang dan obligasi korporasi akan membuat sistem keuangan menjadi rentan dan membuat pendekatan itu penuh dengan risiko.

"Meskipun pihak berwenang menginginkan disiplin pasar untuk perusahaan yang lebih berisiko, mereka tidak dapat mengetahui seberapa besar risiko kredit dapat menyebabkan penularan yang lebih luas. Tidak ada yang bisa mengetahui garis ini dengan jelas, mengingat tidak ada preseden untuk risiko ini dalam sistem keuangan China," tulis Wright dalam catatan penelitian baru-baru ini. []

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: