DEMOKRASI.CO.ID - Nama Habib Rizieq kembali ramai diperbincangkan. Hal ini lantaran pendiri Front Pembela Islam (FPI) itu baru saja kembali ke tanah air setelah menetap di Arab Saudi selama kurang lebih tiga setengah tahun.
Tak hanya itu, kehebohan juga terjadi tatkala Habib Rizieq meninggalkan rumah sakit tempatnya menjalani tes swab COVID-19 secara diam-diam.
Ahli hukum tata negara dan pengamat politik Indonesia, Refly Harun berdiskusi tentang Habib Rizieq bersama Rocky Gerung, seorang filsuf sekaligus intelektual publik Indonesia.
Diskusi tersebut ditayangkan di kanal Youtube-nya, Refly Harun dan tayang pada hari Selasa, 01 Desember 2020.
Di awal diskusi mereka, Rocky Gerung memberikan pernyataan bahwa kehebohan yang disebabkan oleh Habib Rizieq sampai membuat pihak istana tidak bisa tidur.
“Itu nama yang membuat istana susah tidur. Karena mengiang-ngiang terus di kuping mereka. ‘Besok Habib akan mengundang siapa, besok Habib akan mengucapkan kalimat apa, besok Habib akan diwawancara oleh siapa’,” ucapnya pada Refly Harun.
Sejak aksi 2 Desember 2016 lalu, atau biasa disebut Aksi 212, nama Habib Rizieq menjadi jauh lebih terkenal. Banyak kontroversi-kontroversi yang menyertainya. Tak heran Imam Besar FPI itu menjadi buruan wartawan.
“Jadi, istana kehilangan fokus karena ada sumbu politik baru di Jakarta. Tentu sumbu itu akan bertumbuh secara nasional,” lanjut Rocky.
“Ini sumbu panjang atau sumbu pendek ini?” tanya Refly Harun.
“Ini sumbu pendek, karena jaraknya hanya dari Jalan Menteng ke Petamburan,” jawab pria pendiri Setara Institute ini.
Lebih lanjut Rocky Gerung menuturkan bahwa Habieb Rizieq berasal dari simpanan memori politik kita tentang perubahan.
“Kita ingin agar supaya ada pengimbang kekuasaan. Maka kita butuh oposisi. Ternyata apa Jokowi bilang? Indonesia demokrasinya tidak menguntungkan oposisi,” jelas Rocky Gerung.
“Habib Rizieq tiba pada momentum yang tepat dan orang melihat bukan sekedar momentum, tapi bisa jadi monumen. Nah istana takut kalau ada monumen baru,” pungkasnya kemudian.***