DEMOKRASI.CO.ID - Indonesia secara resmi melarang kelompok Front Pembela Islam atau FPI yang diumumkan langsung oleh Menkopolhukam Mahfud MD lewat SKB 6 Menteri.
“Pemerintah telah melarang kegiatan FPI dan akan menghentikan kegiatan yang dilakukan oleh FPI,” kata Mahfud pada konferensi pers, Rabu (30/12).
"FPI tidak lagi memiliki legal standing sebagai organisasi," lanjut Mahfud.
Pembubaran organisasi massa ini mendapat sorotan dari analis keamanan Australia, Dr Ian Wilson.
Wilson merupakan dosen senior dalam studi politik dan keamanan dan peneliti di Pusat Penelitian Asia, Universitas Murdoch, mengatakan, pembubaran dan pelarangan aktivitas FPI mungkin menjadi kontraproduktif.
"Pelarangan FPI tidak akan banyak mengurangi faktor-faktor yang mendorong popularitasnya sebagai fenomena sosial, dan kemungkinan akan 'meradikalisasi' beberapa anggota dan simpatisan," ungkap Wilson seperti dilaporkan Reuters, Rabu (30/12).
Larangan itu menimbulkan pertanyaan tentang penegakan hukum dan implikasinya terhadap ekspresi demokrasi di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia itu, ungkapnya.
Menurut Wilson keputusan itu harus dilihat dalam konteks perkembangan politik belakangan ini, termasuk pembersihan anggota FPI dan simpatisan dari Majelis Ulama Indonesia.
Pemerintah sedang melakukan serangan terhadap apa yang mereka lihat sebagai lokus potensial dari oposisi Islam yang populer, dipertajam dengan kembalinya Rizieq baru-baru ini, terangnya.
"Meskipun memiliki dasar hukum yang kuat, pelarangan tersebut juga jelas didorong oleh politik," ungkap Wilson.
Analis keamanan tersebut mengungkapkan larangan itu dapat memicu reaksi balik atau memaksa FPI dan aktivitasnya di bawah tanah.
Pernyataan Wilson nampaknya berbanding lurus dengan pernyataan juru bicara FPI, Novel Bamukmin, yang mengatakan kepada Reuters bahwa larangan itu tidak akan banyak mengurangi semangat.
"FPI bisa dibubarkan, tapi perjuangan kita bela negara dan agama tidak bisa dibubarkan. Dan kalau mau sore ini kita bisa deklarasikan ormas Islam baru," katanya.
"Jika mereka membubarkannya lagi, kami akan membuat yang baru.” (*)