DEMOKRASI.CO.ID - Tiga pria Muslim yang mengaku mereka dimasukkan dalam daftar larangan terbang setelah menolak membantu FBI, telah memenangkan hak mereka untuk menuntut agen federal tersebut, demikian keputusan Mahkamah Agung AS.
Pengadilan mengatakan para pria itu, yang merupakan warga negara AS, dapat kembali mencari nafkah berdasarkan Undang-Undang Pemulihan Kebebasan Beragama.
Mereka - yang semuanya kehilangan pekerjaan karena masuk dalam daftar hitam - berpendapat bahwa FBI melanggar keyakinannya dengan menekan mereka agar memata-matai orang-orang Muslim lainnya.
Tidak ada satu pun dari para lelaki itu pernah dicurigai melakukan aktivitas yang melanggar hukum, kata pengacaranya.
Salah seorang dari mereka mengatakan dia tidak dapat mengunjungi ibunya yang sakit, sementara yang lain mengatakan tidak dapat menemui istrinya.
Para agen FBI kemungkinan masih berupaya menyelesaikan kasus ini melalui jalur di luar pengadilan, atau meminta kekebalan yang memenuhi syarat (qualified immunity).
Kekebalan yang memenuhi syarat adalah doktrin hukum yang melindungi petugas dari tanggung jawab pribadi karena melanggar hak konstitusional anggota masyarakat yang mereka tangkap.
Para pengkritik berpendapat bahwa kekebalan ini menghalangi upaya untuk meminta pertanggungjawaban para agen FBI.
Para politikus dari Partai Demokrat di Kongres telah mengajukan upaya legislasi untuk mencabut hak kekebalan tersebut, namun upaya mereka diblokir oleh para politikus Partai Republik.
Pemerintahan Trump telah berusaha untuk mengabaikan kasus tersebut, dengan alasan perkara tersebut terkait dengan "masalah sensitif keamanan nasional dan penegakan hukum".
Putusan Mahkamah Agung dengan suara bulat 8-0 menandai fase awal kasus ini, dan para hakim diharuskan untuk berasumsi bahwa tuduhan yang dibuat oleh orang-orang itu semuanya benar, demikian laporan New York Times.
Kantor berita Reuters melaporkan para hakim memperkuat putusan pengadilan yang lebih rendah, yang memungkinkan para pria, semua warga negara AS atau penduduk tetap yang lahir di luar negeri, untuk menuntut ganti rugi uang berdasarkan undang-undang federal tahun 1993 yang disebut Undang-Undang Pemulihan Kebebasan Beragama.
Kasus ini bermula pada 2013 dan melibatkan dua warga Muslim yang berbasis di New York City, yakni Muhammad Tanvir dan Jameel Algibhah, serta satu warga Muslim yang tinggal di Connecticut, yaitu Naveed Shinwari.
Ketiganya mengatakan bahwa mereka dimasukan dalam daftar larangan naik pesawat kendati tidak ada bukti yang menunjukkan mereka mengancam keselamatan maskapai atau penumpang pesawat.
Muhammad Tanvir, penggugat utama, adalah penduduk tetap yang sah dan bekerja di New York City sebagai sopir truk jarak jauh - pekerjaan yang mengharuskannya terbang pulang setelah berkendara jarak jauh.
Namun pada 2010 dia ditolak masuk ke pesawat untuk penerbangan dari Atlanta.
Para agen FBI mengantarnya ke terminal bus sebagai gantinya untuk menyelesaikan perjalanan pulang 24 jam.
Dua pria lainnya mengaku mereka memiliki pengalaman serupa.
"Saya merasa sangat senang dan puas. Alhamdullilah," kata Naveed Shinwari, salah seorang pria yang diduga menjadi sasaran FBI.
"Ini adalah kemenangan besar bagi setiap Muslim dan non-Muslim yang tidak bersuara melawan kebencian dan penindasan," katanya kepada NPR News, seraya menambahkan:
"Saya berharap ini menjadi peringatan bagi FBI dan lembaga lain bahwa mereka akan bertanggung jawab atas... kejadian yang menyebabkan trauma masyarakat dan menghancurkan hidup mereka."
Para pengacara tiga orang itu mengatakan bahwa ada 80.000 orang yang masuk dalam daftar hitam pemerintah AS tidak akan dapat segera menuntut, lantaran mereka bukan warga negara AS. []