logo
×

Minggu, 08 November 2020

Rizal Ramli Dukung Biden Atau Trump? Jawabannya Bikin Baper

Rizal Ramli Dukung Biden Atau Trump? Jawabannya Bikin Baper

DEMOKRASI.CO.ID - Ekonom senior DR. Rizal Ramli mendukung Joe Biden yang telah resmi menjadi Presiden Terpilih AS, atau Donald Trump petahana yang akan segera melenggang meninggalkan Gedung Putih?

Itu antara lain pertanyaan yang disampaikan wartawan RRI, Fadly Sungkara, kepada mantan Menko Perekonomian di era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu. Pertanyaan itu diajukan kepada Rizal Ramli, Sabtu pagi (7/11), di saat rakyat Amerika Serikat, dan juga dunia menunggu dengan harap-harap cemas siapa yang akan keluar sebagai pemenang Pilpres AS.

“Kalau Pak Rizal mendukung Biden atau Trump, melihat untung ruginya bagi Indonesia?” tanya Fadly Sungkara.

“Saya mendukung Indonesia untuk lebih hebat dan lebih makmur. Kita tidak perlu tergantung dengan negara apapun namun kita harus memanfaatkan persaingan geopolitik untuk kebesaran dan kemakmuran Indonesia,” jawab Rizal Ramli mantap.

Jawaban itu sekaligus menutup penjelasan Rizal Ramli mengenai posisi Indonesia di tengah perubahan politik Negeri Paman Sam.

Indonesia seakan terjebak pada pertarungan kepentingan dua raksasa, Amerika Serikat yang selama hampir delapan tahun terakhir dipimpin Partai Republik, dan Repubik Rakyat China yang sejak 1949 sampai hari ini dikuasai Partai Komunis China.

Rizal Ramli yang pernah menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya di era Joko Widodo mengatakan, China berbahaya karena memiliki ambisi teritorial. Di sisi lain, Amerika Serikat merespon kelakuan China itu dengan meningkatkan kehadiran armada di perairan yang panas itu.

Ada kekhawatiran, kemenangan Biden akan mengubah pendekatan dan gaya Amerika Serikat terhadap China menjadi lebih lembek. Kalau benar ini terjadi, bukankah China akan semakin dominan di Laut China Selatan.

Selama enam bulan terahir, Amerika Serikat mengerahkan dua armada di perairan yang panas di Laut China Selatan. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kehadiran armada AS dalam jumlah besar ini menurut Rizal Ramli baru sebatas posturing dan masih dalam level bluffing.

Dia memperkirakan di era Joe Biden nanti jumlah armada AS di perairan itu akan dikurangi ke titik normal, tinggal hanya Armada Ketujuh.

“Artinya, apa yang dilakukan Trump selama ini berarti membantu Indonesia juga yang memiliki konflik di Natuna?” tanya Fadly lagi.

Rizal Ramli membenarkan, walaupun sambungnya, apa yang dilakukan AS sampai sejauh ini masih sebatas perang kata-kata.

Strategi perang kata-kata dan adu gertak itu juga yang dipertontonkan Menlu Mike Pompeo ketika berkunjung ke Jakarta belum lama ini.

Rizal memuji pertemuan antara Pompeo dan Gerakan Pemuda Ansor, sayap Nahdlatul Ulama (NU).

Rizal yang dekat dengan kalangan NU mengingatkan pada sejarah di era 1960an. Menjelang peristiwa 1965, sebutnya, elit nasional terutama NU masih ikut Bung Karno dan pada dasarnya “berdansa dengan Beijing”.

“Satu-satunya kekuatan yang melawan komunisme yang benar-benar adalah NU kultural, Ansor dan pesantren-pesantren tradisional. Pada waktu itu, karena provokasi PKI di masa akhirnya Ansor bersama-sama tentara menghabisi PKI. Tetapi, poinnya adalah kekuatan yang betul-betul sangat anti komunis adalah NU Kultural dan Ansor. Maka dari itu Pompeo canggih, memilih menemui Ansor, menjelaskan ancaman partai komunis terhadap kepentingan Indonesia,” urai Rizal Ramli.

Lalu bagaimana dengan nasib perang dagang antara AS dan China? Apakah akan berakhir setelah Biden yang berkuasa?

Menjawab pertanyaan ini, Rizal mengatakan, Biden akan menghormati pendekatan bilateral dan multilateral dan tidak seenaknya sendiri seperti Trump.

Adapun banjir produk China di Indonesia adalah salahnya pejabat kita. Dia memberikan contoh, awalnya baja China tidak bisa masuk karena standar terlalu lebih rendah. Namun di era Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito, pasar baja untuk produk China dibuka dan ini ikut mengakibatkan Krakatau Steel rugi.

Begitu juga dengan keramik Indonesia yang tadinya lumayan unggul. Pemerintah menurunkan tarif untuk keramik sehingga terjadilah banjir keramik China.

“Adapun Jokowi tidak ngerti-ngerti amat soal teknis. Menterinya menurunkan semua tarif barang-barang dari China. Itulah yang mengakibatkan Indonesia kebanjiran barang China dengan harga yang lebih murah. Harga keramik China dengan tarif 0 persen itu menjadi 50 persen dari harga keramik Indonesia sehingga banyak yang di-PHK,” jelas Rizal Ramli lagi.

Dia menambahkan, beberapa elit pejabat Indonesia memang pro Beijing. Lalu, policy pemerintah juga sangat pro-impor.

Ini terjadi karena impor yang besar itu memberi kesempatan kepada pejabat yang memiliki latarbelakang pengusaha atau dekat dengan pengusaha menangguk untung demi kepentingan pribadi dan golongan.

“Artinya, mereka dapat komisi atau rente semua dengan permainan ini. Jadi, jangan salahkan negara lain, itu prilaku pejabat kita yg pro import barang China. Kita yang tidak beres karena (pejabat) kita tidak nasionalistik,” demikian Rizal Ramli menutup penjelasannya.

Artikel Asli

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: