Oleh: Henrykus Sihaloho
SEKITAR sejam setelah penulis mengeluarkan twit di Twitter 27 Oktober 2020, penulis kaget luar biasa bercampur bahagia ketika pada pukul 22.58 RMOL.ID memuat prediksi penulis di bawah judul berita, “Sempat Dikritik Hanya Pelengkap, Maruf Amin Justru Diprediksi Meminang Rizal Ramli Saat Reshuffle Kabinet”.
Terus terang, penulis mentwit prediksi di atas usai menyaksikan wawancara Karni Ilyas dengan Rizal Ramli baru-baru ini. Penulis mengakui prediksi ini berbeda 180 derajat dengan arus utama (mainstream) kekinian mengingat sejumlah kritikan Rizal Ramli yang cenderung memerahkan telinga “orang yang bersumbu pendek”.
Pandangan kami yang berbeda diametral di atas justru terjadi karena kami memastikan Presiden Joko Widodo adalah orang yang luar biasa sabar. Bahkan kesabaran ini menjadi senjata andalan beliau dan lantaran demikian pentingnya memegang nilai ini, beliau sampai menasihatkan ini kepada putranya Kaesang ‘pascaadu’ panco di antara mereka lebih dari empat tahun silam (2 Juli 2016).
Kembali kepada wawancara Karni Ilyas di atas. Salah satu isi wawancara itu ialah mengenai peran Jusuf Kalla di masa beliau menjadi wakil dari Presiden Jokowi dan mantan Presiden SBY. Penulis melihat, ada sisi positif dari kedua beliau. Di mata kedua beliau, wakil presiden itu bukan sekadar pelengkap atau ban serap, tapi sebagai “istri”.
Bagi kedua beliau, sebagai “istri”, pandangannya tidak hanya patut didengar, tetapi dalam beberapa hal harus diaktualisasikan. Masuk akal dari titik ini, penulis memprediksi Wakil Presiden Profesor Dr. K. H. Maruf Amin bakal mengusulkan nama Rizal Ramli menjadi menteri bukan untuk menyangkal keberadaan beliau sebagai pelengkap, tapi demi rakyat.
Pandangan kita soal “demi rakyat” ini harus kita lihat dari sisi yang agak lain. Ketika Presiden Jokowi menggunakan kata-kata ini saat membujuk Rizal Ramli untuk mau menjadi Menko Maritim, “ demi rakyat” di sana harus kita maknai sebagai rakyat yang merindukan berulangnya “romantisme masa lalu” (kala rakyat berada di masa pemerintahan Dr. K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)).
Kita harus mencatat, meski Gus Dur hanya menjabat kurang dari 2 tahun (21 bulan) dan memberi kepercayaan kepada Rizal Ramli sebagai Menko Bidang Ekonomi, Keuangan (Ekuin), dan Indsutri 10 bulan dan Menkeu satu bulan lebih (dan masih berlanjut 17 hari di masa Presiden Megawati), legacynya karena menaikkan pertumbuhan ekonomi dan menaikkan gaji PNS dalam bilangan yang mencengangkan di masa yang sulit seperti itu, tentu tidak mudah hilang dari ingatan banyak orang.
Bila kita dengar dalam wawancara Karni Ilyas di atas ada semacam “utang budi” dari Presiden Jokowi di kala menjadi Gubernur DKI soal MRT sehingga membuat beliau mengangkat Rizal Ramli menjadi menteri, penulis sama sekali menolak argumen itu.
Penulis melihatnya justru dari sisi adanya keinginan kuat beliau memanfaatkan kepiawaian Rizal Ramli yang memiliki jaringan yang luar biasa luas itu (yang terbukti handal membujuk mantan Presiden Japan International Cooperation Agency Profeseor Akihiko Tanaka, seorang akademisi dan praktisi yang sulit dicari tandingannya, bukan hanya di Jepang, tapi juga di dunia).
Saat membujuk beliau, penulis bahkan melihat Jokowi rela pasang badan “demi rakyat” Indonesia (bukan hanya rakyat Jakarta) agar bisa kembali merasakan kontribusi dari orang yang cerdik bagaikan Abunawas, bersih seperti Soetami dan Hoegeng, ikhlas seperti Bung Hatta, dan nasionalis bak Bung Karno, yang selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan itu.
Kerinduan Wapres Profesor Dr. K. H. Maruf Amin
Sekitar tiga jam sebelum penulis mengeluarkan twit terkait peran Wapres, penulis membaca pandangan Wapres Profesor Dr. K. H. Maruf Amin perihal pengembangan ekonomi dan keuangan syariah yang inklusif ketika membuka “Seminar Internasional Isu Fikih Kontemporer pada Ekonomi dan Keuangan Syariah” yang digelar melalui konferensi video 27 Oktober 2020 yang lalu.
Meski memiliki titik berangkat yang berbeda, pandangan beliau sejalan dengan pakar ekonomi rakyat (yang secara salah sering disamakan dengan ekonomi kerakyatan) seperti almarhum Mubyarto, Sri-Edi Swasono, Noer Soetrisno, Thoby Mutis, HS Dillon, Sritua Arief, Frans Seda, Revrisond Baswir, Mardiasmo, M. Chatib Basri, Bayu Krisnamurthi, Titus Kurniadi (ekonom dan pengusaha), dan Bambang Ismawan (ekonom dan praktisi ekonomi rakyat).
Demi mendalami pengembangan ekonomi rakyat, para ekonom tersebut plus Sajogyo, SMP Tjondronegoro, Siswono Yudhohusodo, Selo Soemardjan, Melly G. Tan, dan Jacob Oetama rela meluangkan waktu untuk hadir dan menjadi narasumber pada seminar dwi-mingguan selama 12 kali (22 Januari-2 Juli 2002) di sebuah perkantoran di Jalan Sudirman, Jakarta.
Meski hampir dalam setiap seminar hari Selasa itu dihadiri kurang dari 20 orang, penulis menangkap kegairahan yang luar biasa tinggi dari semua hadirin untuk mengembangkan ekonomi rakyat.
Kerinduan yang luar biasa seperti itulah yang penulis tangkap dari twit Prof. K. H. Ma’ruf Amin. Jika diizinkan melompat jauh, menurut penulis kerinduan ini ada pada Gus Dur. Bila kita membaca riwayat hidup Gus Dur, salah satu yang menonjol adalah keprihatinan yang sangat mendalam dari presiden keempat itu atas kemiskinan pesantren.
Sementara itu, hal menarik lain dari perjalanan hidup Gus Dur dan Maruf Amin adalah keduanya bukan hanya ulama besar yang lahir dan besar dari NU, tetapi keduanya akademisi dan sekaligus politisi yang bisa memadukan kedua profesi sehingga menjadi sebuah kebajikan untuk memajukan negara dan bangsanya. Mungkin tidak banyak dari kita yang menyangka, meski Gus Dur cucu K.H. Hasyim Asyari, pendiri NU, dan cucu K.H. Bisri Syansuri (pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan) dan anak mantan Menteri Agama K.H. Wahid Hasyim, almarhum pernah bekerja sebagai penjaja kacang dan pengantar es untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Penulis berkeyakinan, bila Gus Dur masih hidup, niscaya beliau membenarkan kerinduan ini. Hemat penulis, kerinduan inilah yang mendorong beliau mengangkat Rizal Ramli mula-mula menjadi Kepala Badan Urusan Logistik, kemudian Menko Ekuin, dan terakhir Menkeu untuk bekerja bersama beliau mencapai salah satu tujuan nasional kita (memajukan kesejahteraan umum), yang sama dan sebangun dengan mencapai “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Mudah-mudahan uraian di atas bisa menjelaskan lebih rinci mengapa twit penulis berbunyi, “Saya memprediksi, sebagai kiai yang ekonom, Pak Maruf Amin akan memasukkan Rizal Ramli dalam reshuffle mendatang. Bukan untuk menyangkal dirinya sebagai pelengkap, tapi demi rakyat.”
Reasoningnya, Maruf Amin, sebagai “orang dekat” dan “sangat mengenal” Gus Dur, masuk akal jika memiliki kerinduan yang sama. Sangat logis pula, lantaran mendengar suara Gus Dur, yang sedari dulu sudah mendengarkan suara rakyat meski sebagian besar dari mereka tidak mampu bersuara, Maruf Amin akan meneruskan suara Gus Dur dan rakyat itu ke telinga Pak Jokowi, yang notabene juga suka “mendengar” langsung suara rakyat lewat blusukan, Twitter, televisi, dan Facebook.
Di titik inilah kita akan melihat betapa indahnya perpaduan seorang nasionalis dan agamis. Di titik ini pulalah keduanya, demi Tuhan dan rakyatnya, menafikan kepentingan asing yang selalu memboncengkan kepentingan negara dan bangsanya melalui penguasa dan pengusaha lokal yang sudah sejak dahulu kala diingatkan oleh Bung Karno untuk kita waspadai.
Sekadar tambahan, peringatan senada dengan Bung Karno kemudian di pertengahan abad 20 disampaikan oleh ilmuwan semacam Raul Prebisch, Andre Gunder Frank, Samir Amin, Paul Baran, dan di awal abad ke-21 diungkapkan oleh John Perkins yang seakan mengonfirmasi kebenaran tesis ketergantungan dari ilmuwan yang penulis sebutkan lebih dulu sebelum Perkins itu.
(Doktor dari IPB dan dosen di Universitas Katolik Santo Thomas)