DEMOKRASI.CO.ID - Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Research and Analysis (Sudra), Fadhli Harahab menilai, revolusi akhlak yang digaungkan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) dan pengikutnya terasa ambigu, apabila dimaknai secara sempit dan dangkal. Sebab, revolusi dalam bahasa umum dapat diartikan sebagai perubahan cepat dan menyeluruh. Ini diibaratkan memaksa Nikita Mirzanimemakai cadar.
Menurutnya, secara bahasa revolusi merupakan antonim dari evolusi atau perubahan secara lambat. Keduanya juga mengharuskan adanya tahapan atau proses.
Dalam konteks revolusi akhlak, ia menilai, baik-baik saja karena bangsa ini seperti kehilangan arah dalam berbangsa dan bernegara. Contoh, pejabat banyak korupsi, banyak tukang fitnah dan adu domba, ketidakadilan, kekerasan dan lain-lain. Dan ini perlu perubahan.
Persoalannya, perubahan akhlak itu tidak bisa dilakukan secepat pergantian pemerintahan yang dipaksakan. Butuh, proses yang panjang karena terkait kesadaran jiwa bukan karena paksaan.
“Konteks revolusi akhlak ini seperti apa? Karena Akhlak ini erat kait dengan paham ajaran agama. Kita sih berharap ini bukan hanya slogan apalagi kalau hanya untuk tanding-menandingi,” kata Fadhli kepada SINDOnews, Jumat (13/11/2020).
Dia menganggap, revolusi akhlak yang santer saat ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu, ulama-ulama, guru-guru dan orang tua sudah melakukan itu, mengajarkan dan mendidik akhlak. Dan dirasa memang akhlak itu harus diajarkan sejak dini, melalui contoh dan pengajaran yang baik, bukan sekedar koar-koar.
“Ya kalau kita bicara revolusi akhlak tentu ada unsur pemaksaan di sana, bukan atas dasar kesadaran dan ini saya kira sangat rapuh,” ujarnya.
Fadhli mengatakan, jika hal itu yang terjadi maka revolusi akhlak hanya seperti menyiapkan kuburannya sendiri. “Dia akan layu sebelum berkembang, karena basic-nya paksaan, bukan contoh dan pendidikan yang baik dan benar. Boleh disebut seperti Nikita Mirzani (Nikmir) yang dipaksa pake cadar, ya dia akan ngamuk,” katanya.