DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Joko Widodo tampaknya telah terjebak dalam agenda oligarki karena tidak mampu membangun garda pendukung yang kuat.
Resty Woro Yuniar dalam artikelnya di South China Morning Post pada Selasa (10/11) mengungkap, setidaknya 17 pendukung Jokowi, yang sebagian besar bagian dari tim resmi kampanye 2019-nya telah dilantik dengan berbagai macam jabatan.
Artikel bertajuk “‘Little Suharto’? Indonesian leader Widodo’s places Twitter personalities, allies in key posts, sparking backlash” itu juga menyebut, beberapa di antaranya diketahui memiliki pengaruh besar di media sosial.
Penunjukkan mereka disebut sebagai “tagihan” dan tidak mempertimbangkan latar belakang yang relevan. Misalnya penunjukkan Kristia Budhyarto sebagai komisaris independen Pelni hingga Fadjroel Rachman sebagai komisaris di Waskita Karya.
Oktober tahun lalu, Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk tiga tokoh media sosial dan pendukung Jokowi menduduki kursi tertinggi di sejumlah BUMN.
Erick yang juga mantan manajer kampanye presiden menunjuk mantan jurnalis yang merupakan penggemar setia Jokowi, Ulin Ni’am Yusron sebagai komisaris Perusahan Pengembangan Pariwisata Indonesia.
Kemudian relawan Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Dyah Kartika Dini ditunjuk sebagai komisaris Jasa Raharja.
Eko Sulistyo, yang membantu Jokowi ketika pertama kali beralih dari mantan pengusaha furnitur ke politik dalam pemilihan walikota 2005 di Solo menjadi komisaris PLN.
Diketahui ada 142 BUMN di Indonesia, di mana gaji seorang komisaris berkisar Rp 80 juta hingga Rp 3 miliar.
Anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih menyebut situasi tersebut menunjukkan “kronisme kenegarawanan” di Indonesia.
“Tidak ada oposisi di Indonesia. Presiden Jokowi kini tak berdaya karena mendapat banyak ‘tagihan’ dari para pendukungnya. Alhasil mereka diberi kursi di dewan komisaris perusahaan milik negara,” ujar Alamsyah.
Menurut profesor di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, keputusan Jokowi untuk memberi ‘penghargaan’ kepada para pendukungnya karena ia tidak memiliki basis yang kuat.
“Jokowi tidak memiliki basis pendukung yang kuat. Dia mengandalkan tokoh masyarakat dan sukarelawan selama pemilu untuk mendapatkan dukungan, dan dia tahu bahwa dia wajib membalasnya,” jelas Sulfikar.
“Jokowi kemudian terjebak dalam agenda oligarki, yang menurutnya sejalan dengan tujuannya,” lanjut dia.
“Agenda ini tidak bisa dinilai kritis, dia sekarang hanya fokus pada peningkatan investasi, dan itu membawa kita kembali ke era Soeharto. Dia adalah Suharto kecil, menurut saya,” pungkasnya.