DEMOKRASI.CO.ID - Amerika Serikat menarik status negara maju yang mulanya diberikan kepada Indonesia oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada Februari lalu.
Hal itu dipastikan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, yang menyatakan Indonesia kembali mendapat fasilitas bebas bea masuk atau Generalized System of Preferences (GSP) untuk produk-produk impor dari Indonesia.
Kebijakan itu dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat melalui United States Trade Representative (USTR), yang diputuskan usai melakukan analisa terhadap fasilitas GSP untuk Indonesia selama kurang lebih 2,5 tahun sejak Maret 2018.
Retno menjelaskan, fasilitas GSP diberikan secara unilateral pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak tahun 1974.
"Indonesia pertama kali dapat GSP pada tahun 1980," ujar Retno Marsudi dalam acara Press Briefing, Minggu (1/11).
Nantinya, lanjut Retno, Indonesia diperkirakan bakal menerima manfaat GSP untuk 3.572 pos tarif yang mencakup produk manufaktur, semimanufaktur, pertanian, perikanan dan industri premier.
Selain itu, kesepakatan perdagangan secara terbatas atau Limited Trade Deal (LTD) antara Indonesia dan Amerika Serikat akan dilakukan pemerintah usai mendapat fasilitas GSP ini.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan memastikan, negosiasi Indonesia-Amerika akan dilakukan secara optimal untuk kerjasama perdagangan, investasi hingga sektor informasi, komunikasi dan teknologi.
"Diharapkan dapat membantu mendongkrak perdagangan dua arah Indonesia dan AS hingga mencapai 60 miliar dolar AS pada tahun 2024," ujar Luhut pada Minggu (1/11).
Pada Februari lalu, Kantor perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang bersama sejumlah negara seperti Brazil, India, China, Korea Selatan, Malaysia, Thailand hingga Vietnam.
Alasan USTR mengambil keputusan tersebut adalah agar negara-negara tersebut tidak memperoleh perlakuan khusus dalam perdagangan internasional.
Setali tiga uang, Presiden AS Donald Trump juga menjadi bahan penilaian USTR menetapkan kebijakan tersebut. Sebab, Trump merasa frustrasi karena World Trade Organization (WTO) memberikan perlakukan khusus terhadap negara-negara berkembang dalam perdagangan internasional.
Trump tidak rela jika negara seperti China dan India dimasukkan ke dalam daftar negara berkembang, yang mengakibatkan produk-produk ekspornya dijual lebih murah, dan dapat menggilas produk sejenis di negara maju seperti negeri Paman Sam.(RMOL)