logo
×

Kamis, 08 Oktober 2020

UU Cipta Kerja, Keinginan Jokowi yang Jadi Nyata 8 Poin Merugikan Pekerja di UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja, Keinginan Jokowi yang Jadi Nyata 8 Poin Merugikan Pekerja di UU Cipta Kerja

 


DEMOKRASI.CO.ID - Disahkannya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR pada Senin (5/10/2020) lalu, menjadi salah satu keinginan Presiden Joko Widodo yang terwujud.

Presiden dalam pidato kenegaraannya usai dilantik sebagai presiden untuk periode kedua pada 20 Oktober 2019 lalu, sempat berharap agar Indonesia memiliki omnibus law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus.

Sementara itu, serikat buruh menemukan adanya sejumlah poin di dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang berpotensi mengancam hak-hak buruh.

Apa saja poin-poin tersebut?

Berikut berita yang paling banyak dibaca di Kompas.com, kemarin, selengkapnya:

1. Omnibus law UU Cipta Kerja, keinginan Jokowi yang jadi nyata

Saat pidato itu, Presiden menyoroti tumpang tindihnya regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.

Oleh karena itu, Presiden mengajak DPR untuk menyusun omnibus law, sebuah UU sapu jagat yang bisa merevisi banyak UU.

Proses pembahasan RUU ini pun terbilang cepat. Hanya butuh waktu sekitar tujuh bulan bagi DPR untuk menyelesaikan pembahasan RUU yang diserahkan drafnya oleh pemerintah pada Februari lalu.

Padahal, pada saat yang sama, banyak aktivitas masyarakat yang diminta pemerintah untuk dikurangi mengingat tengah menghadapi situasi pandemi Covid-19.

Pembahasan RUU itu, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan, sempat ditunda oleh Presiden setelah serikat buruh mengancam akan mogok nasional pada akhir April 2020. Meski demikian, penundaan tak berlangsung lama.

Pemerintah akhirnya melanjutkan kembali pembahasannya. Bahkan, DPR mengakui proses pembahasan memakan waktu 7×24 jam hingga menggunakan masa reses mereka.

2. Delapan poin UU Cipta Kerja yang rugikan buruh

Kedelapan poin yang ditemukan oleh Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) itu meliputi masifnya kerja kontrak, outsourcing pada semua jenis pekerjaan, dan jam lembur yang kian eksploitatif.

Selanjutnya, menghapus hak istirahat dan cuti, tidak diwajibkannya gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota, dan peran negara dalam mengawasi praktik PHK sepihak diminimalisasi.

Kemudian, berkurangnya hak pesangon, dan perusahaan semakin mudah melakukan PHK sepihak.

“Setelah membaca undang-undang nir-partisipasi tersebut, kami menemukan setidaknya delapan bentuk serangan terhadap hak-hak buruh yang dilegitimasi secara hukum,” ujar Ketua Umum FBLP Jumisih dalam keterangannya kepada Kompas.com, Selasa (6/10/2020).

Artikel Asli

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: