logo
×

Kamis, 08 Oktober 2020

Tengku Tanya Siapa yang Layak Diminta Tanggung Jawab? Buzzer: Anies dan Cendana

Tengku Tanya Siapa yang Layak Diminta Tanggung Jawab? Buzzer: Anies dan Cendana

 


DEMOKRASI.CO.ID - Awal Januari 2020, media-media nasional mengangkat topik berita seputar permintaan Presiden Joko Widodo kepada DPR agar omnibus law rancangan undang-undang dapat diselesaikan dalam waktu 100 hari.

Tetapi menurut salah satu anggota badan legislasi DPR dalam sebuah diskusi pada bulan itu, RUU tersebut — terutama Cipta Kerja — bisa diselesaikan lebih cepat: dua bulan, asalkan dapat tercapai kesamaan pandangan antara tiga pihak yaitu pemerintah, dunia usaha, dan buruh. Diusulkan kepada pemerintah supaya bikin diskusi-diskusi tentang masalah tenaga kerja ini supaya dapat diselesaikan sesuai target.

Pemberitaan tersebut kembali diungkit Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnain dengan menjadikannya parodi untuk mengkritik keadaan sekarang, dimana UU Cipta Kerja, meskipun ditolak buruh, tetap disahkan DPR.

“Presiden minta omnibus law selesai dalam 100 hari. Badan legislasi DPR: “2 bulan bisa (selesai).” Begitu selesai DPR langsung reses, menghilang dari gedung DPR. Siapakah yang layak dimintai pertanggungjawaban? Buzzers: “Anies dan Cendana…” Hoaaam…” kata Tengku. (baca juga: 9 Pasal yang Dinilai Rugikan Pekerja)

Beberapa foto lautan demonstran, Rabu (7/10/2020), penentang UU Cipta Kerja diunggah Tengku ke timeline Twitter-nya dan kemudian dia melancarkan kritik lagi dengan sebuah pertanyaan pedas, “apakah kira-kira ada di dalam kerumunan pendemo ini anak taipan dan konglomerat serta para pengusaha raksasa yang ikut…? Monggo…”

Tengku mengatakan dapat memahami kenapa buruh mogok kerja dan tetap turun ke jalanan bersama dengan kawan-kawan dari berbagai elemen untuk menyuarakan aspirasi, walaupun sekarang keadaan pandemi Covid-19.

“Kenapa buruh nekat demo seperti ini di tengah pandemi Covid-19? Karena nasib dan nyawa anak cucu ke depan lebih dirasa berharga dari nyawa sendiri,” kata Tengku.

“Buruh bisa berpikir begitu, masak para anggota DPR RI tidak sampai berpikir begitu? Mau demo pakai Zoom nanti ada tangan gratil. Tung…” kata Tengku.

Tengku juga menyindir insiden mikrofon dimatikan pimpinan dewan ketika anggota Fraksi Partai Demokrat Irwan Fecho sedang menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja, Senin (5/10/2020), sore.

Sementara dalam pandangan pegiat media sosial Denny Siregar, demonstrasi buruh tersebut tidak memberikan keuntungan kepada mereka.

“Demo dan mogok para buruh itu sebenarnya tidak menguntungkan buruh. Kenapa ? Karena UU Cipta Kerja sudah disahkan. Mau rubah? Ya silakan ke MK. Yang diuntungkan dengan demo itu ketua serikat pekerja dan partai yang sedang caper. Buruh ? Ntar kerja lagi dan nasib pun tetap begini,” katanya.

Ketua MPR Bambang Soesatyo meminta masyarakat tidak mempercayai hoaks terkait isi UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI bersama pemerintah.

“Di luar sana berkembang berbagai propaganda, hoaks, misinformasi, mau pun disinformasi yang mendiskreditkan UU Cipta Kerja. Sebagai contoh, ada isu yang menyatakan upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMS) dihapus. Padahal tidak seperti itu,” ujar Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulis.

Ia menuturkan Pasal 88 C UU Cipta Kerja menyatakan gubernur wajib menetapkan UMP (ayat 1) dan dapat menetapkan UMK (ayat 2), sementara penetapan UMK harus lebih tinggi dibanding UMP (ayat 5).

Soal pesangon, dalam peraturan sebelumnya, pesangon diberikan sebesar 32 kali gaji. Namun, tercatat hanya tujuh persen perusahaan yang taat karena besarnya beban yang ditanggung. Menurut dia, aturan sebelumnya justru menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) serta investor.

Untuk itu, penyesuaian pesangon menjadi 25 kali gaji justru disebutnya hal yang realistis agar tidak memberatkan perusahaan serta tidak mengecilkan pekerja.

“Ke depan perusahaan tidak bisa berkilah dengan berbagai alasan untuk tak membayar pesangon. Bahkan dalam UU Cipta Kerja juga terdapat aturan baru perlindungan sosial berupa jaminan kehilangan pekerjaan/JKP (Pasal 18). Keberadaan JKP tak menambah beban pekerja karena keberadaannya dimaksudkan sebagai up grading dan up skilling serta membuka akses informasi ketenagakerjaan bagi pekerja yang menghadapi PHK,” tutur Bambang Soesatyo.

Informasi lain soal waktu kerja terlalu eksploitatif, tidak berperikemanusiaan serta menghilangkan hak cuti dikatakannya juga tidak benar sebab Pasal 77 Ayat 2 UU Cipta Kerja mengatur waktu kerja untuk lima hari kerja sebanyak delapan jam per hari, serta untuk enam hari kerja sebanyak tujuh jam per hari.

Bahkan UU Cipta Kerja memberikan kesempatan pelaku usaha digital untuk tumbuh dan berkembang dengan pengaturan di Pasal 77 ayat 3 yang mengatur ketentuan Pasal 77 Ayat 2 tentang waktu kerja tidak berlaku untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu.

“Mengingat tren pekerjaan di era Revolusi Industri 4.0 menuntut waktu kerja yang fleksibel sesuai kesepakatan pekerja dengan pemberi kerja, ketentuan ini justru membuat pekerja lebih nyaman menggunakan waktu kerjanya, tidak perlu seharian di kantor, melainkan bisa melakukan pekerjaan dari rumah dan dari tempat manapun,” kata dia.

Artikel Asli

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: