DEMOKRASI.CO.ID - Di era media sosial ini, muncul istilah buzzer alias orang-orang yang bekerja untuk menyebar suatu pesan tertentu sesuai dengan arahan pihak tertentu (pemilik modal).
Biasanya, buzzer ini akan bekerja membuat pesan berantai menuruti pembayar, minimal bisa membuat trending di media sosial Twitter.
Terkait ulah para buzzer ini, budayawan Sudjiwo Tedjo turut mengungkapkan kegelisahannya.
Lewat akun Twitter @sudjiwotedjo, sosok yang mengklaim dirinya sebagai Presiden Jancukers ini mengimbau agar tidak perlu kasihan dengan buzzer.
“Nggak usah kasihan pada para buzzer karena nasib mereka yang terpaksa mencari duit dengan menjual nurani, dengan membuat tweet-tweet yang seragam sesuai arahan pembayar,” kata Sudjiwo Tedjo, Rabu (07/10/2020).
Menurutnya, jadi buzzer atau tidak tergantung pada garis nasib yang telah ditentukan.
“Karena setiap orang terdampar pada nasibnya sendiri-sendiri, termasuk mereka yang terpaksa terpaksa ngetwit atas dasar nurani,” sambungnya.
Hingga artikel ini dibuat, sebanyak 2,5 ribu orang telah menyukai kicauan tersebut sedangkan 1,3 ribu di antaranya meretweetnya.
Para pengikut sosok yang akrab disapa Mbah Tedjo itu pun langsung ramai-ramai mengomentarinya.
“Bisakah buzerrr kita pukulin rame rame trus dibuang ke laut orangnya mbah?” celetuk akun @Ibnusho***
“Digarisbawahi ya, buzzer di sini mungkin buzzer politik, kalo buzzer produk makanan dll. Twit sesuai arahan pembayar, iya. Tapi tidak menjual nurani. Kata buzzer tidak selalu negatif,” terang warganet lainnya @Didy****
Penjelasan peneliti soal buzzer
Menurut penelitian para ilmuwan dari Universitas Oxford tahun 2019 yang pernah dirilis Suara.com, banyak politisi di Indonesia menyebar propaganda mereka dengan membayar pasukan siber alias buzzer.
Munculnya buzzer di Indonesia itu diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam laporan berjudul The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.
Dalam laporan tersebut, terkuak bahwa politikus, parpol, dan kontraktor swasta di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.
Untuk melancarkan misinya, para buzzer ini menggunakan akun-akun media sosial palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot.
Biasanya, isi konten-konten yang disebarkan terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar.
Para buzzer di Indonesia menurut penelitian itu dikontrak oleh politikus atau partai politik tidak secara permanen.
Umumnya mereka mendapat bayaran di kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta.
Di Indonesia, para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp.
Sementara di platform YouTube, para buzzer belum banyak bergerak di sana menurut penelitian tersebut.