DEMOKRASI.CO.ID - Istana Kepresidenan memastikan proses cleansing atau pemeriksaan akhir terhadap naskah UU Cipta Kerja telah rampung. Pemeriksaan ini sebelumnya dilakukan oleh Kementerian Sekretariat Negara, dengan menyesuaikan format halaman dan menghapus satu pasal yang seharusnya dikembalikan ke UU existing.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menjelaskan bahwa hanya pasal 46 dalam paragraf 5 tentang Energi dan Sumber daya Mineral (sebelumnya termuat dalam naskah 812 halaman) yang dikeluarkan. Pasal yang hilang tersebut memiliki substansi yang sama dengan Pasal 46 UU nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Hilangnya pasal tersebut memiliki arti, pengaturannya dikembalikan ke UU existing.
Dini mengutip penjelasan dalam Pasal 5 UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan beberapa asas. Salah satunya adalah asas ‘kejelasan rumusan’ yang termuat dalam huruf f pasal tersebut.
“Proses cleansing yang dilakukan oleh Setneg adalah dalam rangka memastikan bahwa asas ‘kejelasan rumusan’ tersebut terpenuhi,” kata Dini kepada wartawan, Jumat (23/10).
Dini juga menyebutkan bahwa naskah UU Cipta Kerja yang sudah rampung diperiksa ini sedang dalam proses ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Setelah resmi ditandatangani oleh presiden dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI (LNRI), maka naskah UU Cipta Kerja bisa diakses terbuka oleh publik.
Seperti diketahui, naskah UU Cipta Kerja yang diserahkan DPR terdiri dari 812 halaman. Namun belakangan, usai dilakukan formatting dan pengecekan teknis terhadap aturan sapu jagat itu, jumlah halaman berubah menjadi 1.187.
Ternyata, perubahan halaman ini bukan hanya disebabkan penyesuaian format saja, namun juga ada satu pasal yang hilang. Pemerintah mengklaim bahwa Pasal 46 memang seharusnya tidak ada dalam naskah final. Alasannya, rapat panja telah memutuskan untuk mengembalikan pasal tersebut ke aturan UU existing.
Namun, adanya revisi naskah oleh pemerintah setelah UU Cipta Kerja diketok palu dan diserahkan oleh DPR justru memberi kesan bahwa penyusunan aturan sapat jagat tersebut tergesa-gesa. Setelah disetujui oleh pemerintah dan DPR pun, terbukti masih ada perbaikan format halaman hingga penghapusan pasal.
Menanggapi anggapan ini, Dini meminta wartawan menanyakan hal tersebut ke parlemen. Sekretariat Negara, menurutnya, hanya menjalankan tugas final review atau pemeriksaan akhir terhadap naskah yang diserahkan DPR.
“Yang jelas perubahan dilakukan agar substansi sesuai dengan kesepakatan dalam rapat panja. Perubahan juga dilakukan dengan sepengatahuan DPR dan diparaf DPR. Perubahan dilakukan dengan proper. Itu yang penting,” kata Dini.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mengatakan, bahwa proses pengajuan revisi oleh Kemensesneg usai UU Cipta Kerja, merupakan tanda bahwa regulasi tersebut abal-abal. Mulai dari substansi dan proses pembahasan hingga pengesahannya.
“Sebenarnya (Pasal 46) sudah ditolak saat proses pembahasan, tetapi nyatanya masih ada di naskah sesungguhnya mengkonfirmasi bahwa naskah RUU Ciptaker ini abal-abal,” ujar Lucius, Jumat (23/10).
Ia melihat, ada upaya penyelundupan pasal yang dilakukan oleh DPR atau pemerintah. Sebab, tidak mungkin pasal yang seharusnya dihapus di tingkat panitia kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) tiba-tiba ada di naskah final UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman.
“Itu mungkin saja bukan buah dari keteledoran berupa kelupaaan mencoret ketentuan yang sudah tak disetujui pada rapat kerja. Bisa jadi pasal Ini merupakan pasal selundupan,” ujar Lucius.