DEMOKRASI.CO.ID - KAPAL patroli Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China kerap mengganggu Indonesia dengan memasuki zona maritim NKRI di Kepulauan Natuna.
Aparat militer Indonesia tak bisa berbuat banyak karena Beijing menyatakan wilayah tersebut masuk dalam zona bebas terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line). Kapal penjaga Indonesia hanya bisa berupaya mengusir mereka.
Sepertinya Pemerintah Indonesia ingin menuntaskan masalah tersebut tanpa harus berkonflik langsung dengan Beijing.
Terkait hal itu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk investasi di Kepulauan Natuna. Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo saat berkunjung ke Indonesia.
“Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Natuna,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis 29 Oktober 2020.
Dengan langkah tersebut, Indonesia tak perlu lagi “disibukan” dengan pelanggaran teritorial. Karena jika AS berkenan maka armada laut AS di Indo Pasifik akan menjaganya dengan ketat.
China pun bakal berpikir panjang untuk memasuki wilayah tersebut. Karena AS jauh memiliki keunggulan militer dibanding Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia bisa meraup keuntungan dari hasil investasi AS tersebut. Terlebih, AS memang memiliki kepentingan untuk memiliki “pangkalan” di wilayah tersebut.
AS memang merupakan salah satu investor utama Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat investasi AS ke Indonesia sebesar 279 juta dola AS pada kuartal III 2020 untuk 417 proyek. Dengan jumlah tersebut, AS menempati posisi ke-7 negara dengan investasi terbesar.
Kepulauan Natuna tengah terancam dampak dari konflik Laut China Selatan (LCS). Konflik memanas usai China mengklaim sepihak 90 persen dari perairan LCS.
Terkait hal tersebut, Retno mengatakan menolak berbagai klaim maritim di wilayah perairan tersebut. Ia mengatakan konvensi PBB tentang hukum laut atau The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) merupakan acuan hukum yang harus diterapkan dan dihormati semua negara.
Sikap tersebut sejalan dengan upaya AS menentang klaim China tersebut. Bahkan, kedua negara telah sepakat bekerja sama untuk melindungi ketahanan LCS.
“Oleh karena itu, klaim apa pun harus didasarkan tentang prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal termasuk UNCLOS 1982,” tegasnya.
Selain mengundang investasi AS ke Natuna, Retno juga menyinggung pemberian perpanjangan fasilitas pengurangan insentif tarif preferensial umum atau Generalized System of Preferences (GSP) dari AS.
Ia mengatakan pemberian fasilitas tersebut dapat memperkuat rantai pasokan global dan mempercepat pemulihan ekonomi.
“Berkaitan dengan hal tersebut, saya kembali menggarisbawahi pentingnya fasilitas GSP, yang tidak hanya membawa keuntungan bagi Indonesia tapi juga bagi bisnis AS,” ucapnya.
GSP adalah sebagai fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang.
Selama ini, Indonesia mendapatkan keringanan tersebut dari AS. Namun, awal tahun lalu AS sudah mencoret RI dari daftar negara berkembang.
Saat ini, Indonesia tengah menunggu hasil tinjauan ulang yang dilakukan pemerintah AS melalui United States Representative (USTR) terkait pemberian fasilitas GSP.***