DEMOKRASI.CO.ID - Mata uang Garuda, rupiah diproyeksi melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini. Rupiah melemah karena sentimen pemerintah Amerika Serikat (AS) yang menarik diri dari pembahasan stimulus hingga penolakan terhadap Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan.
Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menjelaskan, mundurnya pemerintah AS dalam pembahasan stimulus mengurangi harapan perbaikan ekonomi.
“Presiden Trump mengatakan kemungkinan besar proposal stimulus ini akan dilanjutkan setelah Pilpres, berarti di bulan Desember. Di sisi lain permasalahan stimulus ini membuat langkah, harapan ekonomi kembali menggeliat kembali tersendat,” katanya kepada detikcom, Rabu (7/10/2020).
Dia juga mengatakan, penolakan terhadap Undang-undang Omnibus Law ini memberikan sentimen negatif pada rupiah. Terlebih, penolakan ini dilakukan elemen buruh, tidak hanya di Jakarta tapi di banyak wilayah Indonesia.
“Dari sisi internal sendiri tentang Omnibus Law, undang-undang yang saat ini bertentangan kaum buruh sehingga terjadi demo, dan demo terjadi bukan hanya DKI tapi seluruh kota-kota besar di seluruh Indonesia,” katanya.
Ibrahim memperkirakan, rupiah akan berada di kisaran level Rp 14.800 terhadap dolar AS pekan ini.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menuturkan, rupiah akan cenderung bergerak datar pekan ini. Dia menjelaskan, rupiah sebelumnya menguat karena Presiden AS Donald Trump keluar dari rumah sakit dan disahkannya Omnibus Law. Namun, keputusan Trump untuk menarik dari dari pembahasan stimulus menekan rupiah.
Dia melanjutkan, Omnibus Law berdampak jangka pendek karena undang-undang kemudian ini banyak ditolak dan pasar tengah menunggu realisasi dari aturan tersebut.
“Masalahnya pertama ada penolakan, kedua tentu harus melihat realiasasi undang-undang ini,” katanya.