DEMOKRASI.CO.ID - Proses pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang diwarnai sejumlah kejadian menarik dan banyak drama. Salah satunya adalah ketika Ketua DPR RI, Puan Maharani mematikan mikrofon saat anggota DPR RI, Irwan, dari Fraksi Partai Demokrat berbicara.
Video mematikan mikrofon itu viral di media sosial. Kejadian ini bermula saat Irwan menyebut bahwa Undang-Undang ini berpotensi memperparah kerusakan lingkungan hingga menghilangkan hak-hak rakyat kecil. Belum selesai berbicara, Puan terlihat menekan tombol untuk mematikan mikrofon.
“Anggota Fraksi Demokrat sedang bicara, tiba-tiba mic dimatikan. Dulu kau menangis saja kami berikan tampungannya dalam wajan-wajan penghormatan. Puan Marahani,” ujar Politikus Partai Demokrat, Andi Arief dikutip dari akun twitternya @AndiArief_, Selasa (6/10/2020).
Senada dengan itu, akun resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia di Twitter, @BEMUI_Official menilai pengubahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, menjadi penanda bahwa negeri kita wajib berduka atas matinya hati nurani dan akal sehat DPR RI dan Pemerintah Indonesia.
“Dewan Perwakilan Rakyat dikabarkan telah berubah nama menjadi Dewan Pengkhianat Rakyat seiring dengan telah disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sudah sangat jelas ditentang oleh berbagai kalangan masyarakat,” cuitnya.
Sementara itu, Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menyayangkan perkataan Puan Maharani yang menyuruh kelompok yang tidak puas untuk mengajukan judicial review ke MK.
“Jadi mestinya diproses di DPR lah kepuasan rakyat itu bisa dijawab dengan membuka ruang bagi rakyat dalam proses pembahasan,” tandasnya.
Lucius berpandangan memang sebuah keputusan itu tak pernah bisa memuaskan semua orang tetapi menjadi tugas DPR untuk memastikan orang yang tidak puas juga bisa menerima dengan baik keputusan akhir yang dibuat.
“Yang sekarang terjadi orang yang tidak puas itu kebanyakan karena mereka tak diajak terlibat atau karena masukan yang sudah disampaikan malah diabaikan oleh DPR dan pemerintah. Tentu tidak puas karena ternyata sebutan wakil rakyat itu juga hanya “prank” saja,” ungkapnya.