logo
×

Senin, 05 Oktober 2020

Masih Ada Waktu Hentikan RUU Cipta Kerja, Pak Jokowi

Masih Ada Waktu Hentikan RUU Cipta Kerja, Pak Jokowi

 



DEMOKRASI.CO.ID - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), sebuah peraturan yang disusun dengan metode omnibus, disebut-sebut sebagai produk hukum yang melayani segelintir pihak berkuasa, rampung dibahas di tingkat I pada Sabtu (3/10/2020) lalu jelang tengah malam. Jika tak dibatalkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, ia akan tercatat selamanya dalam sejarah sebagai kepanjangan tangan oligarki.

“Sah, Jokowi presiden yang mengembalikan oligarki ke posisi sentral di Indonesia. Dan ini juga instrumen utama kembalinya otoritarian ke Indonesia,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati saat dihubungi wartawan Tirto, Senin (5/10/2020) pagi. “Apalagi rakyat mencatat RUU ini inisiatif Pemerintah.”

RUU Ciptaker rencananya akan disahkan pada rapat paripurna pada Kamis (8/10/2020) mendatang. Asfin bilang Jokowi dapat mendengar dan mengakomodasi desakan publik dengan menghentikan pembahasan di tingkat II DPR RI dengan mengeluarkan nota penundaan pembahasan sebelum atau saat sidang, sebagaimana pernah ia lakukan tahun lalu. Dasar hukumnya adalah Pasal 69 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kata Asfin.

“Jokowi pernah menunda kesepakatan tingkat II untuk RKUHP. Karena itu Jokowi bisa melakukannya lagi,” katanya. “Presiden penentu, bukan DPR. Presiden tidak sepakat, enggak jadi UU itu.”

Desakan publik datang dari berbagai penjuru bahkan sejak tahun lalu. “Penolakan sangat luas, mulai dari mahasiswa, buruh, petani, akademisi,” kata Asfin. “Saat ini sudah meluas mosi tidak percaya.”

Salah satu yang mengeluarkan mosi tidak percaya adalah Fraksi Rakyat Indonesia (FRI)–aliansi masyarakat sipil yang paling getol menolak RUU Ciptaker sejak ReformasiDikorupsi–di berbagai kanal media sosial. Mereka menganggap Pemerintah dan DPR telah mengkhianati warga dan konstitusi.

“Sikap keras kepala mengesahkan omnibus law Cipta Kerja tepat di saat rakyat dilanda kesusahan besar akibat pandemi COVID-19 dan resesi ekonomi menunjukkan Pemerintah dan DPR telah menjadi antek penjajahan investor jahat dan koruptor,” kata mereka.

“Kami mengajak masyarakat untuk semakin menyuarakan dan memperluas mosi tidak percaya ini,” tambah mereka dalam keterangan tertulis.

Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) bersama jaringan juga mengancam menggelar demonstrasi dan mogok kerja di berbagai daerah pada 6 sampai 8 Oktober. “Puncaknya tanggal 8 [demonstrasi] di DPR RI,” kata Nining Elitos, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), salah satu elemen dalam Gebrak, dalam konferensi pers virtual, Minggu (4/10/2020).

Serikat lain dalam Gebrak, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), mengatakan turun ke jalan memang pilihan yang sulit saat pandemi. Namun Pemerintah dan DPR tak memberikan pilihan lain karena mereka pun tak mendengar suara publik. “Pemogokan atau aksi perlawanan yang dilakukan gerakan rakyat itu adalah wujud dari penegasan terhadap posisi penolakan terhadap omnibus law,” kata Ketua KPBI Ilhamsyah.

Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), kelompok mahasiswa, juga berencana melakukan “perlawanan terbesar aksi langsung batalkan omnibus law serentak nasional” dalam keterangan tertulis.

Di tengah penolakan-penolakan ini, apa pun langkah yang Jokowi ambil sedikit banyak menentukan apakah akan ada korban lagi atau tidak. Peristiwa memilukan ini terjadi dalam dua tahun terakhir.

Salah satu contohnya saat aksi penolakan hasil Pilpres 2019 di Bawaslu pada 21-22 Mei. 10 orang tewas saat bentrokan, 9 di Jakarta dan satu di Pontianak. Beberapa di antaranya merupakan warga sipil yang tak ikut demo.

Saat gerakan ReformasiDikorupsi bergulir pada September 2019–gerakan yang juga menentang RUU Ciptaker–dua mahasiswa jadi korban di Kendari, Sulawesi Tenggara: Randi dan Yusuf Qardawi.

Pasal Bermasalah

Alasan Jokowi ketika meminta DPR menunda pengesahan RKUHP tahun lalu adalah “masih ada materi-materi yang membutuhkan pendalaman lebih lanjut.” Pasal yang bermasalah tersebut di antaranya pasal yang berpotensi mengkriminalisasi jurnalis, korban pemerkosaan, advokat, dan warga yang menyuarakan pendapat. Selain itu, kelompok rentan seperti gelandangan dan pengemis, serta kelompok minoritas gender juga berpotensi dihukum.

Alasan serupa bisa dipakai oleh Jokowi mengingat pasal-pasal dalam RUU Ciptaker juga bermasalah dan merugikan pekerja. Salah satunya penghapusan pasal soal upah minimum sektoral yang dihapus. RUU Ciptaker hanya mengenal Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Para buruh khawatir dengan ini upah mereka bisa turun.

Pasal lain terkait pesangon. Dalam Pasal 156 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, diatur jumlah pesangon dengan ketentuan “paling sedikit” dari yang ditentukan. RUU Ciptaker mengubahnya menjadi “paling banyak.” Jadi misalnya dalam UU 13/2003 seorang pekerja yang masa kerjanya satu-dua tahun dibayar pesangon “paling sedikit dua bulan upah,” maka dengan ketentuan baru menjadi “paling banyak dua bulan upah.”

Belum lagi di sektor lingkungan, khususnya mengenai analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) yang sebelumnya diatur di dalam Pasal 26 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sebelumnya, pembuatan Amdal harus melibatkan warga terdampak, pemerhati lingkungan, dan siapa pun yang terpengaruh. RUU Ciptaker mengubah aturan itu. Di Pasal 24 ayat 3, Pemerintah hanya perlu menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat dalam membuat Amdal.

Mengenai izin lingkungan di Pasal 123 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga demikian. RUU Ciptaker menghapus regulasi itu dan menjadikan satu dengan izin berusaha–padahal itu dua ranah yang berbeda.

Artikel Asli

Follow
Terkoneksi dengan berbagai Sosial Media kami agar tetap terhubung dan mengetahui Informasi terkini.
Jangan Lupa Subscribe YouTube DEMOKRASI News: