DEMOKRASI.CO.ID - Tingginya angka kematian tenaga kesehatan dalam penanganan Covid-19 dinilai turut dipengaruhi oleh minimnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan.
Angka kematian yang cepat ini membuktikan bahwa masyarakat tidak hanya abai terhadap pelaksanaan protokol kesehatan, namun juga tidak peduli pada keselamatan tenaga kesehatan,” kata Wakil Ketua Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dr. Ari Kusuma lewat keterangan persnya, Minggu (4/10).
Kehilangan nyawa para tenaga kesehatan merupakan kerugian besar bagi sebuah bangsa, terutama dalam mempertahankan dan pengembangan aspek kesehatan. Terlebih, jumlah tenaga kesehatan terutama dokter di Indonesia sebelum pandemi Covid terendah di Asia dan dunia.
“Dengan jumlah dokter yang ada, rata-rata satu orang dokter diestimasikan melayani 3 ribu masyarakat. Dengan banyaknya korban dari pihak tenaga kesehatan saat ini, maka kedepannya layanan kesehatan pada pasien baik Covid-19 maupun non Covid-19 akan terganggu karena kurangnya tenaga medis,” katanya.
Tim Mitigasi PB IDI berharap masyarakat tidak menganggap remeh pandemi Covid-19 ini. Sebab semakin banyak masyarakat abai terhadap protokol kesehatan, maka Indonesia akan sulit melewati masa pandemi.
“Bukan hanya kerugian secara ekonomi, namun juga korban jiwa baik tenaga kesehatan, keluarga, maupun diri sendiri,” tandasnya.
Tim Mitigasi PB IDI bersama dengan Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyebutkan, hingga Sabtu (3/10), terdapat 130 dokter, 9 dokter gigi (6 dokter gigi umum, 3 dokter gigi spesialis) dan 92 perawat telah meninggal dunia akibat Covid-19.
Dari 130 dokter yang wafat, terdiri dari 67 dokter umum dengan 4 di antaranya merupakan guru besar, 61 dokter spesialis dengan 4 di antaranya adalah guru besar, serta 2 orang residen. Keseluruhan dokter tersebut berasal dari 18 IDI wilayah (provinsi) dan 61 IDI cabang (Kota/Kabupaten).