DEMOKRASI.CO.ID - Nama Gus Nur belakangan jadi sorotan karena ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian terhadap Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Terlahir dengan nama Sugi Nur Rahardja, dia kemudian dikenal dengan panggilan Gus Nur. Ada juga yang memanggilnya ustaz. Seperti apa latar belakangnya?
detikcom mewawancarai Gus Nur di Bareskrim Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (28/10/2020). Selain buka-bukaan soal kasus hukum yang menjeratnya, Gus Nur juga mengungkap cerita soal latar belakangnya.
Sugi Nur Rahardja menceritakan awal dirinya dipanggil ‘gus’. Dia mengaku, nama Gus Nur dia dapat saat dulu dia masih aktif menjadi pemain debus.
“Sebelum ada rezim ini, saya sudah terkenal. Saya dulu awal meniti, saya dulu pemain debus. Seniman debus waktu Abah (ayah Gus Nur-red) masih hidup, ’98 ke bawah. Kan saya berhenti 98, dulu saya tiap hari main debus di seluruh Indonesia,” kata Gus Nur membuka cerita.
Gus Nur lantas menceritakan kemampuan debusnya dulu, antara lain dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup hingga diseret mobil dengan kecepatan tinggi. Pekerjaan tersebut dilakoninya semasa muda sebelum menikah, untuk mencari nafkah. Dia mengikuti jejak ayahnya yang lebih dulu menjadi pemain debus.
“Dikubur hidup-hidup, dibakar hidup-hidup, diseret mobil kecepatan tinggi itu dulu tiap hari saya, buat cari nafkah. Jadi saya buat cari makan itu dari debus, pemain debus. Abah, saya masih bujang, ikut Abah,” ujar Gus Nur.
Meski kesenian debus identik dengan Provinsi Banten, namun Gus Nur menuturkan tak memiliki darah Banten. Dia menyebut ayahnya berasal dari Madura, sementara ibunya dari Yogyakarta.
“Abah saya itu darah Madura, nggak ada Bantennya. Mungkin karena debus, jadi orang-orang ngiranya ‘oh Banten’. Ya sudah kita ikuti saja, jadi sampai sekarang KTP saya kelahiran Banten. Padahal ilmunya (debus) saja dari Banten,” ucap Gus Nur.
“Saya (lahir-red) di Yogya, ibu (asalnya-red) Yogya, ayah Madura,” sambung dia.
Gus Nur menjelaskan dirinya meninggalkan karier sebagai pemain debus setelah ayahnya wafat. Dari situ, dia kemudian mengaku baru mulai menekuni agama. Namun, ilmu debus tidak sepenuhnya dia tinggalkan. Dia kemudian memanfaatkan ilmu debusnya untuk media dakwah.
“Nah setelah Abah wafat, saya buang semua ilmu debus, saya mulai menekuni agama. Cuma satu yang saya tidak bisa buang, (ilmu-red) dikubur hidup-hidup. Diseret mobil, kebal mercon, disetrika apalah itu bisa saya buang. Tinggal satu yang gak bisa, (ilmu) dikubur,” jelas Gus Nur.
Dikubur yang dimaksud Gus Nur adalah dirinya dikafani, dikubur di dalam tanah selama satu jam. Kemampuan itu dimanfaatkan Gus Nur. Dia kemudian mempopulerkan istilah dakwah dari dalam kubur. Videonya banyak beredar di YouTube dan jadi kontroversi.
“Maksudnya bisa saya pakai, dikubur hidup-hidup, dikafanin, dikasih papan, dikubur tanpa lubang satu jarumpun. Dikubur satu jam. Lihat di video saya, tahun 2005-an. Akhirnya saya berimprovisasi, saya kenal agama, saya dakwah dari panggung ke panggung seperti biasanya, tapi bahasa kerennya ‘kok nggak viral-viral,” terang Gus Nur.
“Nah (saya-red) jadi penceramah dalam kubur. Jadi dulu saya dakwahnya (sambil-red) dikubur. Dakwah dalam kubur Gus Nur, dilihat dalam Youtube itu masih banyak. Jadi saya dikafanin, terus dimasukkan keranda, diusung, dibacakan tahlil, dimasukkan liang lahat, diazanin terus ditutup tanah,” imbuh dia.
Gus Nur mengungkapkan caranya berdakwah dari dalam kubur akhirnya viral. Gus Nur menyebut dirinya sebagai tokoh revolusi dakwah dalam kubur.
“Satu jam saya ceramah di situ, nah dikasih mic di situ. Jadi jemaah hanya dengarkan suara saya. Nah viral, satu-satunya di dunia, saya revolusionernya dakwah dalam kubur. Jadi dulu atraksi dikubur saya buat cari nafkah, sekarang saya buat dakwah, beda niat-beda dimensi,” pungkas Gus Nur.
Lantas dari mana Gus Nur mendapat gelar ‘gus’?
Gus Nur menceritakan, ayahnya dikenal dengan nama Tomjeg alias Tommy Jenggot karena jenggotnya yang panjang. Suatu masa dulu, ayahnya dan dirinya diundang main debus di sebuah acara. Menurutnya oleh si pengundang acara itu lah ayahnya diberi gelar ‘gus’ karena dinilai hebat atraksi debusnya.
Dari sejak itu ayahnya dipanggil dengan nama Gus Tomjeg. Karena Gus Nur selalu mendampingi ayahnya bermain debus, dia jadi ikut-ikutan dipanggil sebagai Gus Nur.
“Di situ itu saya ikut-ikutan dipanggil Gus Nur,” jelas dia.
“Dari mana ‘gus’, nggak punya (garis keturunan) nama Kiai, oke saya luruskan jadi sejak saat itulah saya menikmati panggilan gus. Saya nggak minta, datang sendiri. Tetapi saya pertanggungjawabkan,” sambungnya.
Gus Nur menyebut, panggilan ‘gus’ bukanlah harus anak seorang keturunan kiai dari NU. Namun demikian, lanjut Gus Nur, dirinya dia menilai dirinya layak menyandang gelar ‘gus’.
“Sebenarnya saya nggak tahu sejak kapan ada idiom bahwa ‘gus’ itu harus anak kiai, saya nggak paham, ‘gus’ itu harus NU. Coba dibantu, coba buka Google (tentang-red) sejarah ‘gus’, kayanya nggak harus anak pesantren deh, nggak harus anak kiai ya,” ujar Gus Nur.
“Tapi ternyata sekarang saya punya pesantren, saya bisa bangun pesantren, berarti layaklah (mendapat gelar ‘gus’-red). Saya punya santri, saya biayai semua hidupnya, ustaz-ustaznya saya biayai semua hidupnya. Hidup saya ya berapa persen untuk agama Allah,” tutur Gus Nur.
Gus Nur kemudian mengklaim sebenarnya ada darah kiai mengalir dalam dirinya. Gus Nur menyebut kakek buyutnya adalah kiai di Madura, meski dia tidak menjelaskan rinci siapa sosok kakek buyutnya yang dimaksud.
“Nah yang paling penting, saya baru tahu ternyata keluarga saya kiai semua. Kan baru ketemu setahun, dua tahun kemarin. Dulu kan saya kehilangan nasab, yang saya tahu bapak saya Gus Tomjeg pemain debus, sudah itu aja. Bapaknya Abah saya petani, sudah mentok sampai situ,” jelas Gus Nur.
“Makanya dulu dakwah saya, ‘Saya anak petani, saya anak pendekar’, saya selalu begitu karena memang waktu itu saya belum tahu. Nah baru di rezim ini, saya mencari nasab ternyata ketemu di Blige, Madura itu. Kakek saya, mbah saya,” tutup Gus Nur.