DEMOKRASI.CO.ID - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan meminta kepada warganya untuk melakukan boikot terhada produk dari Perancis.
Ini merupakan babak baru ketegangan dua negara anggota NATO itu, setelah Paris bersikap tegas terhadap kelompok atau individu ekstremis.
“Seperti yang sudah disebutkan di Perancis ‘jangan beli produk Turki’. Saya meminta rakyat saya jangan membeli apa pun produk mereka,” kata dia.
Boikot atas produk “Negeri Anggur” sudah muncul di supermarket Qatar dan Kuwait, dengan seruan larangan beli juga muncul di Yordania.
Ini merupakan serangan kedua Erdogan terhadap Perancis, setelah pada akhir pekan kemarin dia menyindir Presiden Emmanuel Macron.
Saat itu, dia menyebut Macron harus melakukan pemeriksaan kejiwaan, dan berdampak kepada Paris yang memanggil duta besar Turki.
Dilansir AFP Senin (26/10/2020), relasi Ankara dengan Barat sudah merenggang menyusul upaya kudeta untuk menjatuhkan Erdogan pada 2016.
Namun kerenggangan Turki dan Perancis sudah berlangsung bertahun-tahun, dengan isu yang mencakup Libya, Suriah, dan eksplorasi gas di Mediterania.
Sementara Erdogan dan Macron sudah bersitegang terutama berkaitan kritikan Paris atas keterlibatan Ankara di wilayah konflik, seperti Nagorno-Karabakh.
Ketegangan baru ini dipicu oleh rencana Emmanuel Macron untuk “membersihkan Islam di Perancis dari pengaruh asing” pada awal Oktober ini.
“Pemimpin Eropa seharusnya memberi tahu Presiden Perancis untuk menghentikan kampanye kebencian terhadap Muslim,” kata Erdogan saat itu.
Sekitar 18 bulan sebelum pemilihan, Macron sempat berseloroh bahwa Islam “adalah agama yang tengah mengalami krisis di seluruh dunia”.
Dia lalu menuai kemarahan dari dunia Islam karena berjanji bahwa negaranya tidak akan menurunkan kartun Nabi Muhammad yang kontroversial.
Karena kartun itu, guru Sejarah dan Geografi bernama Samuel Paty dipenggal oleh remaja Chechen berusia 18 tahun dua pekan lalu.
Paty dibunuh saat sedang berjalan pulang setelah menunjukkan kartun tersebut sebagai bagian dari materi kebebasan berekspresi.